Pengarang Mintardja Halaman 30 Jilid Buku ini menggunakan setting waktu pada masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya di Pajang setelah gugurnya Arya Penangsang dan sebelum upaya Sutawijaya membuka Hutan Mentaok menjadi Kerajaan Mataram. Dikisahkan perjalanan Paksi Pamekas sebagai “anak” Tumenggung Sarpa Biwada yang pada usia yang masih sangat muda 17 tahun ditugaskan oleh “ayahnya” untuk mencari pusaka kerajaan yang hilang, yaitu Cincin bermata tiga yang bersamaan dengan hilangnya Pangeran Benawa dari kerajaan. Dalam pengembaraannya, dia mendapatkan gemblengan ilmu dari “guru” secara tersamar. Bertemu dengan Pangeran Benawa yang menyamar dengan nama Wijang. Perjalanan Paksi Pamekas dan Pangeran Benawa di ladang peburuan pencarian cincin bermata tiga berhadapan dengan berbagai macam perguruan dari golongan hitam. Diantara pemburu cincin tersebut adalah Harya Wisaka yang sebenarnya adalah paman dari Pangeran Benawa. Cincin ini diburu karena tersebarnya berita yang menyebutkan bahwa siapa saja yang mengenakan cincin tersebut akan menurunkan raja yang akan berkuasa di Tanah Jawa. Dalam pengembaraan ini Paksi Pamekas bertemu dengan seorang gadis yang menarik hatinya, Kemuning. Kemuning ini sebenarnya adalah anak angkat salah satu perguruan yang memburu cincin bermata tiga. Setelah Pangeran Benawa pulang dan cincin kembali ke kerajaan dengan terungkapnya upaya pemberontakan Harya Wisaka, maka kisah selanjutnya adalah perburuan Harya Wisaka yang melibatkan Tumenggung Sarpa Biwada sebagai kaki tangan Harya Wisaka. Dalam perburuan ini terungkap bahwa Paksi Pamekas sebenarnya adalah anak tiri dari Tumenggung Sarpa Biwada, sedang ayah kandung sebenarnya adalah Ki Waskita yang menjadi gurunya. Dalam perburuan ini Harya Wisaka semat mengumpulkan anak-anak muda yang berpotensi untuk menjadi pemimpin di masa yang akan datang di bawah bimbingan Ki Gede Lenglengan. Salah satu anak muda tersebut adalah Lajer Laksita yang adik tiri dari Paksi Pamekas. Setelah Harya Wisaka tertangkap, kisah selanjutnya adalah perburuan Paksi Pamekas dan Pangeran Benawa untuk mencari adiknya. Kebesaran Paksi Pamekas yang merelakan wanita yang tadinya diidamkannya untuk diberikan kepada adiknya yang telah menyadari kesesatannya merupakan akhir cerita ini. Jilid 01 Jilid 02 Jilid 03 Jilid 04 Jilid 05 Jilid 06 Jilid 07 Jilid 08 Jilid 09 Jilid 10 Jilid 11 Jilid 12 Jilid 13 Jilid 14 Jilid 15 Jilid 16 Jilid 17 Jilid 18 Jilid 19 Jilid 20 Jilid 21 Jilid 22 Jilid 23 Jilid 24 Jilid 25 Jilid 26 Jilid 27 Jilid 28 Jilid 29 Jilid 30 Tamat
Kabutsemakin mengendap turun. Dingin kian menusuk. Matahari benar-benar tidak tampak sekalipun masih terang. Bakal balik lagi ke sini buat hiking dan rafting di Welo. Trus aku juga penasaran sama situs2 peninggalan zaman mataramnya. Aku juga berpikiran sama soal jejak masa kolonial di Petung, pasti ada cuma blm tereksplor kali yaa. Dan
“Ya, Repak Rembulung dan Pupus Rembulung dalam ujudnya sebagai seorang ayah dan ibu yang baik.” “Repak Rembulung dan Pupus Rembulung juga gila.” Terdengar suara tertawa seorang perempuan. Namun kemudian orang yang tertawa itu bertanya, “Nah, apakah kau yakin bahwa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung tidak pergi ke Panjatan.” “Aku yakin.” “Jadi mereka akan pergi ke mana?” “Darimana aku tahu. Kita tidak terikat untuk menemukan mereka. Bukankah kita mencari Pangeran Benawa? Kita hanya menduga bahwa Pangeran Benawa ada di tangan pengikut Repak Rembulung dan Pupus Rembulung.” “Kita pergi ke Panjatan. Kita cari Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Jika keduanya tidak ada disana, kita akan memaksa orang-orangnya untuk menunjukkan di mana mereka menyimpan Pangeran Benawa.” “Jangan tergesa-gesa. Dalam keadaan seperti ini, sebaiknya kita tidak membuka permusuhan. Kecuali dalam keadaan terpaksa.” “Jadi apa yang harus kita lakukan?” “Jangan memaksa diri untuk menemukan jawabnya sekarang juga. Kita mempunyai banyak kesempatan untuk berpikir.” “Lalu kita kemana?” “Ke Panjatan.” Kemudian mereka terdiam. Langkah mereka sudah menjadi semakin jauh. Ketika kemudian Paksi dan Wijang menjengukkan kepala mereka, mereka tinggal melihat punggungnya saja. Dua orang perempuan dengan mengenakan pakaian sebagaimana kebanyakan perempuan justru pada saat-saat mereka pergi mengunjungi sebuah perhelatan. Namun, meskipun dari belakang, keduanya langsung dapat menerka, bahwa keduanya adalah Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati. Dua orang perempuan yang cantik namun yang sekaligus garang seperti serigala betina. Wijang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika kemarin Repak Rembulung dan Pupus Rembulung mengenakan pakaian rapi sebagaimana seorang suami isteri dari keluarga yang baik, maka sekarang Melaya Werdi dan Megar Permati juga mengenakan pakaian sebagaimana perempuan yang akan pergi ke perhelatan.” “Suasananya berubah,” berkata Paksi. “Mereka nampaknya sudah bersiap-siap untuk meninggalkan lingkungan ini. Mereka tidak lagi mencari cincin itu disini. Tetapi mereka akan mencari Pangeran Benawa yang dapat berkeliaran sampai kemana-mana.” “Satu permulaan dari sebuah malapetaka,” desis Wijang “Sebuah tantangan.” Wijang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mereka akan pergi ke Panjatan. Jika kau memperhitungkan bahwa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung tidak kembali ke Panjatan, maka kedua perempuan iblis itu akan dapat menghancurkan padukuhan itu untuk mencari Pangeran Benawa.” “Bukankah mereka tidak ingin membuka permusuhan?” desis Paksi. “Masih ada kecualinya. Kecuali jika tidak dalam keadaan terpaksa.” “Tetapi aku kira, dua orang itu tidak akan melakukan kekerasan. Bukankah di Panjatan banyak sekali pengikut Repak Rembulung dan Pupus Rembulung?” Wijang mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, aku kira Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati tidak sedang mabuk sehingga mereka akan membuka benturan kekerasan. Menilik cara mereka berpakaian, mereka memang tidak sedang mencari perkara.” Keduanya pun terdiam. Namun kemudian Wijang berkata, “Marilah kita lihat orang-orang yang terpelanting itu.” Paksi dan Wijang pun kemudian telah pergi ke kedai di ujung dari jajaran kedai di depan pasar. Mereka melihat dua orang yang nampak kesakitan duduk di dalam kedai. Beberapa orang masih berkerumun di luar kedai itu. “Sudahlah, pergilah,” teriak pemilik kedai itu. “Jika kedua perempuan itu kembali, maka kalian akan mengalami sebagaimana dialami oleh kedua orang ini.” Beberapa orang memang segera pergi. Paksi dan Wijang pun kemudian mencoba bertanya kepada mereka apa yang telah terjadi. “Salah mereka sendiri,” berkata seorang yang berkumis tipis. “Keduanya mencoba mengganggu kedua orang perempuan itu. Bahkan mereka mencoba untuk menyentuhnya.” “Lalu, apa yang dilakukan oleh kedua orang perempuan itu?” bertanya Wijang. “Entahlah, apa yang dilakukan oleh kedua orang perempuan itu. Yang aku lihat, keduanya telah terlempar dan terbanting jatuh. Nampaknya yang seorang agak parah. Mudah-mudahan punggungnya tidak patah.” Paksi dan Wijang mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian Wijang itu pun berdesis, “Terima kasih. Aku lebih baik pergi saja. Lebih baik untuk selamanya tidak bertemu dengan perempuan segarang itu.” Wijang pun kemudian telah mengajak Paksi meninggalkan tempat itu. Sementara masih ada satu dua orang yang berdiri di luar kedai itu. Di dalam kedai itu, dua orang masih saja nampak kesakitan duduk sambil menyeringai. “Kita kemana sekarang?” bertanya Paksi. “Rasa-rasanya aku juga ingin pergi ke Panjatan,” jawab Wijang. “Sekarang?” “Tentu tidak. Kita akan dapat bertemu dengan Nyi Melaya dan Nyi Megar Merpati. Sebaiknya kita masih harus menghindari benturan kekerasan dengan mereka. Juga dengan pemimpin-pemimpin perguruan yang lain.” “Jadi?” bertanya Paksi. “Nanti siang kita pergi ke Panjatan.” “Jadi kemana kita selama menunggu siang?” “Berkeliaran atau mencari tempat untuk berbaring sambil merenungi nasib.” Paksi menarik nafas panjang. Ia mengerti, bahwa Wijang akan mengunjungi Panjatan, setelah Melaya Werdi dan Megar Permati meninggalkan padukuhan itu. Dengan demikian, maka keduanya pun telah pergi ke sebuah belik kecil di pinggir sebuah sungai. “Kita sempat mencuci pakaian.” Di tempat yang nampaknya memang sepi itu, keduanya menyempatkan diri untuk mencuci baju dan kain panjang mereka. Kemudian menjemurnya di atas sebuah batu besar. Sinar matahari yang panas telah menghisap air yang melekat pada pakaian itu sehingga dengan cepat menjadi kering. Baru lewat tengah hari keduanya bersiap untuk melanjutkan perjalanan menuju ke Panjatan. Keduanya berharap bahwa Melaya Werdi dan Megar Merpati telah meninggalkan padukuhan itu. “Kita tidak akan membuat keributan, kecuali jika terpaksa. Mungkin kita bertemu dengan kedua perempuan itu, tetapi mungkin para pengikut Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Atau bahkan Repak Rembulung dan Pupus Rembulung sendiri yang ada di padukuhan itu,” berkata Wijang. Paksi hanya mengangguk-angguk saja. Demikianlah, maka keduanya pun melangkah terus menuju ke Panjatan. Meskipun jantung mereka menjadi berdebar-debar, tetapi mereka berketetapan hati untuk pergi ke padukuhan itu. Debar di jantung mereka itu telah membuat mereka lebih banyak diam. Apalagi ketika mereka sudah melihat pintu gerbang padukuhan. Wijang memandang padukuhan itu dari ujung sampai ke ujung sambil berdesis, “Hati-hatilah. Kita tidak tahu apa yang tersembunyi di dalam padukuhan itu. Mungkin Melaya Werdi dan Megar Permati. Mungkin Repak Rembulung dan Pupus Rembulung.” Paksi mengangguk-angguk, dipeganginya tongkatnya erat-erat seakan-akan seorang akan merebut dari tangannya. Ketika mereka sampai ke pintu gerbang padukuhan, mereka berhenti sejenak untuk mengamati suasana. Tetapi rasa-rasanya suasana di padukuhan itu tetap tenang. Tidak terjadi pergolakan apa pun yang dapat menggoncang ketentraman padukuhan itu. Mereka masih mendengar suara orang menumbuk padi. Mereka masih mendengar teriak anak-anak yang sedang bermain meskipun matahari mulai melayang di belahan langit sebelah barat. Ampat orang anak tengah bermain benthik di tengah-tengah jalan padukuhan. Wijang dan Paksi memang merasa ragu. Namun kemudian mereka pun melangkah memasuki padukuhan itu. Anak-anak yang bermain benthik itu terhenti sejenak, mereka pun menepi, memberi jalan kepada Wijang dan Paksi. Demikian Wijang dan Paksi lewat, maka anak-anak itu segera mulai bermain lagi. Tidak ada kesan apa pun kepada keempat anak itu terhadap orang-orang yang dianggap asing di padukuhan itu Ketika mereka melangkah semakin dalam, maka mereka berpapasan dengan laki-laki muda yang membawa sekeranjang rumput di atas kepalanya. Tetapi laki-laki itu pun tidak menghiraukan Wijang dan Paksi yang termangu-mangu. “Apa sebenarnya yang ada di padukuhan itu?” desis Paksi. “Tanggapan orang-orang padukuhan ini terhadap orang yang mereka anggap asing telah berubah sama sekali,” sahut Wijang. “Ya. Mereka tidak segarang saat kita memasuki padukuhan ini untuk pertama kali.” “Apakah padukuhan ini memang berubah, atau kita yang berubah,” gumam Wijang kemudian. Paksi mengangguk-angguk, tetapi ia tidak menyahut. Sebenarnyalah ketika keduanya berjalan di sepanjang jalan padukuhan, maka orang-orang yang berpapasan sama sekali tidak menghiraukan mereka. Sama seperti padukuhan-padukuhan yang lain. Tidak ada kecurigaan. Tidak ada sikap permusuhan. “Aneh,” desis Paksi. Namun Wijang pun kemudian berdesis, “Aku dapat menduga sebabnya. Hanya menduga. Aku tidak tahu, apakah dugaanku ini benar atau salah.” “Apa?” bertanya Paksi. “Orang-orang padukuhan ini menjadi garang jika Repak Rembulung dan Pupus Rembulung ada disini. Tetapi jika keduanya pergi, maka sikap mereka pun kembali ke dalam kewajaran sikap dan kepribadian mereka masing-masing. Mungkin masih ada yang garang, tetapi pada umumnya mereka akan melepaskan segala kecurigaan karena mereka tidak sedang melindungi keselamatan dua orang yang mereka anggap sangat penting,” berkata Wijang dengan ragu. Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Agaknya memang demikian. Kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung tidak ada di padukuhan ini sekarang.” Untuk beberapa lama keduanya berjalan di jalan di sepanjang jalan padukuhan. Mereka memang tidak merasakan suasana yang lain dari suasana di kebanyakan padukuhan. Dengan demikian mereka pun berkesimpulan bahwa kehadiran Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati di padukuhan itu juga tidak menimbulkan gejolak. Ketika keduanya bertemu dengan tiga orang remaja yang memanggul sebatang bambu, maka Wijang pun bertanya, “Adi, apakah kau melihat kedua orang bibiku yang tadi berkunjung kemari?” Ketiga orang remaja itu termangu-mangu sejenak, sementara Wijang menjelaskan, “Bibiku merencanakan untuk mengunjungi padukuhan ini. Apakah kalian melihatnya?” “Dua orang perempuan dengan pakaian bagus,” bertanya salah seorang dari ketiga orang remaja itu. “Ya,” Paksi menyahut dengan serta-merta. “Aku melihat mereka tadi.” “Dimana?” “Nampaknya mereka telah pergi.” Wijang mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih.” Ketiga orang remaja itu termangu-mangu sejenak. Sementara Wijang mengusap kepala salah seorang dari mereka sambil bertanya, “Untuk apa bambu itu?” “Kami sedang membuat egrang.” “O, hati-hati bermain egrang. Jika ujung jari kakimu terinjak, maka kukunya akan dapat terlepas.” “Ah, tidak pernah ada di antara kami yang menginjak kaki kawannya,” jawab seorang di antara mereka. Wijang tertawa. Katanya, “Mudah-mudahan memang tidak akan mudah terjadi.” Ketiga orang remaja itu termangu-mangu. Sementara Wijang pun berkata, “Kami minta diri. Kami sedang mencari bibi kami.” Ketiganya mengangguk kecil. Tetapi mereka tidak menjawab. Wijang dan Paksi pun kemudian meninggalkan padukuhan itu. Mereka berkesimpulan, bahwa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung memang sedang tidak berada di padukuhan itu. “Sekarang, kita akan pergi kemana?” bertanya Paksi. “Bukankah kita tidak mempunyai tujuan? Kita berjalan saja ke selatan, menuruni kaki Gunung Merapi. Mungkin kita akan sempat melihat-lihat keadaan Alas Mentaok. Satu daerah yang luas yang dijanjikan akan diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan oleh ayahanda Sultan.” “Menarik sekali,” Paksi mengangguk-angguk. “Mendahului Ki Ageng Pemanahan, kita akan melihat-lihat isi dari Alas Mentaok. Pada suatu saat, Ki Gede Pemanahan dan barangkali juga Kakangmas Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, akan membuka hutan yang masih gelap itu.” “Satu kerja yang sangat berat,” desis Paksi. “Ki Penjawi mendapat bagian yang lebih baik,” desis Wijang. Paksi mengangguk-angguk, sementara Wijang berkata, “Pati sudah lebih dahulu menjadi ramai.” “Kapan kita melihat Pati?” bertanya Paksi. Wijang menarik nafas panjang. Katanya, “Aku tidak ingin pergi ke Pati. Ada beberapa orang Pajang yang ikut Ki Penjawi ke Pati. Ada di antara mereka yang akan dengan mudah mengenali aku, meskipun orang-orang itu tidak berniat buruk, tetapi aku akan kehilangan sesuatu dengan pengenalan itu.” “Seperti Ki Rangga Suraniti yang akan dengan mudah mengenalmu?” “Ya. Untunglah bahwa aku tidak dengan sengaja menemuinya. Ternyata ada sesuatu yang perlu mendapat perhatian khusus pada Ki Rangga Suraniti. Salah seorang prajurit pilihan yang mendapat banyak kepercayaan itu.” “Wijang,” berkata Paksi dengan tiba-tiba, “apakah kita dapat menemui panglima pasukan Pajang di Jati Anom dan memberikan keterangan tentang Ki Rangga Suraniti?” “Mereka tidak akan dengan mudah mempercayai kita. Sementara itu, aku tidak akan dapat melanjutkan pengembaraan ini. Aku akan ditangkap dan dikembalikan ke istana.” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia merenung. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apakah pernah kau pergi ke Kembang Arum?” Wijang termangu-mangu sejenak. Ia pernah mendengar ceritera Paksi tentang seorang gadis, yang menjadi anak angkat Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Dengan nada rendah Wijang itu bertanya, “Apakah kau berniat untuk menemui gadis itu sekaligus menemui Repak Rembulung dan Pupus Rembulung?” Paksi tersenyum. Katanya, “Tidak. Aku tidak ingin menemui Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Ada kemungkinan bahwa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung telah pergi ke Kembang Arum untuk menemui anak gadisnya itu?” Wijang mengerutkan dahinya. Ia mengingat-ingat ceritera Paksi tentang gadis yang pernah ditolongnya itu. Dengan ragu ia bertanya, “Apakah Repak Rembulung dan Pupus Rembulung tahu bahwa anak gadisnya telah berada di Kembang Arum bersama pemomongnya yang sebenarnya adalah ibunya sendiri itu?” Paksi pun mengingat-ingat pula. Katanya, “Mungkin Repak Rembulung dan Pupus Rembulung belum mengetahuinya. Gadis itu meninggalkan rumahnya setelah Repak Rembulung dan Pupus Rembulung pergi.” “Apakah kau akan mencoba melihatnya? Jika keduanya ada di Kembang Arum, niat kita akan kita batalkan.” “Bagaimana caranya kita dapat mengetahui bahwa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung ada di Kembang Arum atau tidak?” “Jika perlu kita akan mengintai rumah gadis itu sehari semalam. Jika keduanya ada di rumah itu, maka mereka atau salah seorang dari mereka tentu akan pernah keluar dan turun ke halaman selama satu hari satu malam itu.” Paksi tertawa. Namun sebenarnya ia memang ingin pergi ke Kembang Arum. Menurut perhitungannya, maka Repak Rembulung dan Pupus Rembulung akan pulang dahulu ke rumahnya. Baru ketika ia mengetahui bahwa anaknya tidak ada, maka ia akan mencarinya. Mungkin ke Kembang Arum. “Nah, kita ambil saja keputusan. Kita pergi ke Kembang Arum,” berkata Wijang kemudian. “Baiklah,” sahut Paksi kemudian, “aku menurut saja.” Tiba-tiba saja langkah Wijang terhenti, sehingga Paksi pun harus berhenti pula. Dengan nada tinggi Wijang berkata, “Kau harus menjawab. Setuju atau tidak setuju. Bukan hanya sekedar menurut. Kau harus ikut bertanggung jawab atas keputusan ini.” “Baik, baik, aku setuju sekali.” “Nah, dengan demikian, jika terjadi sesuatu atas diri kita, maka kau tidak dapat membebankan tanggung jawabnya kepadaku sendiri.” “Marilah,” berkata Paksi, “tidak usah merajuk seperti itu.” “Bukan sekedar merajuk. Tetapi ada kemungkinan kau ditangkap oleh Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Lebih pahit lagi jika kau ditangkap oleh Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati yang sedang berusaha mengikuti Repak Rembulung dan Pupus Rembulung.” “Baik. Baik. Kita akan mempertanggung-jawabkan bersama.” “Nah, kau tidak akan menyalahkan aku jika kau besok berada di kerangkeng dalam sarang Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati.” “Nama itu mirip dengan nama pemomong yang sebenarnya adalah ibu Kemuning itu sendiri.” “Siapa namanya?” “Nyi Permati.” “O,” Wijang mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Ada ribuan orang yang mempunyai persamaan nama.” Paksi menarik nafas panjang. Namun kemudian ia berdesis, “Untunglah bahwa Bahu Langlang tentu akan dilumatkannya menjadi debu.” Wijang pun berdesis, “Itu namanya nyawa Bahu Langlang cukup liat.” Paksi pun kemudian terdiam. Mereka pun kemudian melangkah semakin cepat menelusuri jalan yang lengang. Hanya ada satu dua orang sajalah yang berjalan cepat ke arah yang berlawanan. Wijang dan Paksi pun kemudian telah berketetapan hati untuk pergi ke Kembang Arum. Mereka berjalan jauh lebih cepat dibandingkan dengan perjalanan Paksi bersama Kemuning dan ibunya. Terik matahari yang menyengat membuat mereka menjadi haus. Meskipun di depan beberapa regol halaman rumah di padukuhan yang mereka lewati terdapat gentong berisi air bersih serta sebuah siwur yang tergantung di dinding halaman, namun keduanya lebih senang untuk singgah barang sebentar di sebuah kedai. “Aku tidak saja haus,” berkata Wijang, “tetapi aku juga lapar.” “Kita singgah di sebuah kedai di dekat sebuah pasar. Mungkin pasar itu telah menjadi lengang. Tetapi mudah-mudahan masih ada kedai yang membuka pintunya.” Sebenarnyalah keduanya masih menemukan kedai yang membuka pintunya. Bahkan masih ada dua tiga kedai, sehingga mereka dapat memilih tempat yang terbaik. Sesaat kemudian, mereka pun telah duduk di dalam kedai. Ada dua tiga orang yang telah duduk di dalamnya. “Kita dengarkan, apa yang mereka bicarakan,” bisik Wijang. Paksi mengangguk. Mereka kemudian memesan makanan dan minuman. Sementara itu mereka berusaha untuk mendengarkan pembicaraan orang-orang yang telah lebih dahulu berada di kedai itu. Mungkin ada hal-hal yang menarik perhatian mereka. Tetapi yang mereka bicarakan adalah persoalan mereka sendiri. Barang dagangan mereka yang agak sulit untuk dipisahkan pada saat-saat terakhir karena persaingan menjadi semakin ketat. Karena itu, maka Wijang dan Paksi pun tidak menghiraukan pembicaraan mereka lagi. Apalagi ketika minuman dan makanan yang mereka pesan telah dihidangkan. Namun selagi mereka makan, perhatian mereka telah tertarik pada seorang laki-laki muda yang berhenti di depan kedai itu. Tiga orang laki-laki menyertainya. Nampaknya ketiganya adalah para pengiringnya. Menilik sikapnya, maka laki-laki muda itu adalah seorang yang mempunyai pengaruh di lingkungannya. Apalagi ketika penilik kedai itu dengan tergesa-gesa menyongsongnya. Sambil membungkuk hormat, pemilik kedai itu mempersilahkan laki-laki muda itu untuk masuk ke dalam kedainya. Tetapi laki-laki muda itu kemudian bertanya, “Apakah kedua perempuan itu tidak ada di kedai ini?” Pemilik kedai itu termangu-mangu. Dengan dahi yang berkerut ia bertanya, “Kedua perempuan yang manakah yang anak muda maksudkan?” Laki-laki muda itu tidak menyahut. Tetapi diamatinya bagian dalam kedai itu. Agaknya yang dicarinya memang tidak ada disitu. “Lihat di kedai yang lain,” berkata laki-laki muda itu kepada pengiringnya. Dua di antara ketiga pengiringnya itu pun segera melangkah meninggalkan laki-laki muda itu, sementara seorang di antaranya berdiri termangu-mangu di sisinya. Pemilik kedai itu sekali lagi mempersilahkannya, “Marilah anak muda. Silahkan duduk.” “Diam,” laki-laki itu tiba-tiba membentak. Pemilik kedai itu terkejut. Wijang dan Paksi pun terkejut pula. Laki-laki itu menjadi marah tanpa sebab. Ketika Wijang dan Paksi sempat berpaling, maka dilihatnya orang-orang yang sudah lebih dulu di kedai itu pun nampak menjadi gelisah. “Kenapa mereka menjadi seperti melihat hantu?” desis Paksi. “Sst,” Wijang memberi isyarat agar Paksi tidak ribut. Paksi terdiam. Tetapi ia juga menjadi gelisah, meskipun alasannya berbeda dengan orang-orang yang sudah lebih dahulu berada di kedai itu. Beberapa saat kemudian kedua orang pengiringnya yang melihat-lihat kedai yang lain itu pun kembali. Seorang di antara mereka berkata, “Mereka ada di kedai sebelah.” Laki-laki muda itu tidak mengucapkan sepatah jawabpun. Tetapi dengan serta-merta ia melangkah ke kedai sebelah. Pemilik kedai itu menarik nafas dalam-dalam. Demikian laki-laki muda pengiringnya itu pergi, maka ia pun melangkah kembali masuk ke dalam kedainya. “Siapakah mereka itu?” tiba-tiba Paksi pun bertanya. Pemilik kedai itu mendekatinya sambil berdesis, “Ki Sanak orang asing disini?” “Kami hanya kebetulan saja lewat disini,” jawab Paksi. Pemilik kedai itu mengangguk-angguk. Katanya, “Anak muda itu adalah anak Ki Demang Sekar Turi. Pasar ini terletak di lingkungan Kademangan Pasar Turi.” “O,” Paksi mengangguk-angguk. Tetapi ia pun bergumam seolah-olah ditujukan pada diri sendiri, “Nampaknya ia seorang yang sangat dihormati disini.” “Ya. Ia memang sangat dihormati. Kecuali ayahnya seorang demang yang sangat berpengaruh, anak muda itu sendiri mempunyai kebiasaan yang membuat orang lain harus menghormatinya.” “Apakah anak muda itu telah berhasil membuat kademangan ini besar dan sejahtera?” Paksi bertanya. Wijang yang lebih tua dari Paksi sempat menggamitnya. Tetapi pertanyaan itu sudah terlanjur dilontarkan. Pemilik kedai itu sempat memandang orang-orang yang sudah lebih dahulu berada di kedainya. Sambil menarik nafas panjang ia berkata, “Ki Demang adalah seorang yang besar.” Pemilik kedai itu pun melangkah meninggalkan Paksi yang agaknya masih ingin bertanya. Tetapi Wijang menggamitnya sambil berdesis, “Sudah.” Paksi memang berhenti bertanya meskipun gejolak dadanya masih membayang di kerut keningnya. Sejenak suasana di kedai itu menjadi lengang. Namun seorang di antara orang-orang yang sudah lebih dahulu berada di kedai itu bangkit berdiri dan melangkah mendekati Paksi dan kemudian bahwa duduk di sebelahnya. “Laki-laki itu ditakuti disini,” desis orang itu. “Kenapa?” bertanya Paksi yang semakin tertarik pada laki-laki muda itu. Wijang menarik nafas panjang. Ia tidak berniat mengetahui lebih banyak tentang laki-laki muda itu untuk menjaga perasaan Paksi yang masih muda itu. Tetapi orang itu justru telah bicara lebih jauh tentang laki-laki itu. “Justru karena ayahnya seorang demang yang mempunyai wibawa yang besar, maka anak itu merasa dapat berbuat apa saja. Yang mencemaskan penghuni kademangan ini adalah kesenangannya terhadap gadis-gadis. Bahkan perempuan-perempuan yang lebih tua dari laki-laki itu sendiri, sering diganggunya. Ia tidak peduli apakah perempuan itu sudah bersuami atau belum.” Dahi Paksi berkerut semakin dalam. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Selama itu tidak ada orang pernah menegurnya? Ki Jagabaya atau Ki Demang itu sendiri?” “Anak itu manja. Aku sendiri bukan penghuni kademangan ini. Karena itu, aku dapat berbicara lebih bebas tentang laki-laki muda itu. Tetapi sebenarnya pemilik kedai itu pun ingin berbicara sebagaimana aku katakan ini. Tetapi karena ia penghuni kademangan ini, maka ia lebih senang berdiam diri.” Orang itu terdiam sejenak. Ketika pemilik kedai itu memandang orang yang sedang berceritera kepada Paksi itu, orang itu pun tersenyum sambil bertanya, “Bukankah begitu?” Pemilik kedai itu berpaling sambil berdesis, “Berceritera atau tidak, itu urusanmu.” Orang yang duduk di sebelah Paksi itu pun berceritera lebih lanjut, “Tadi ada dua orang perempuan yang masuk ke dalam kedai sebelah. Dua orang perempuan cantik dengan pakaian yang rapi dan menarik. Aku tidak tahu, siapakah mereka, karena agaknya baru kali ini ia singgah disini. Nah agaknya anak Ki Demang ini atau pengiring-pengiringnya yang sering mencari muka, melihatnya. Jika tidak ada orang yang menyelamatkan, kedua perempuan itu akan bernasib malang. Sementara itu orang sekademangan ini tidak ada yang berani menentang kehendaknya.” Paksi dan Wijang terkejut mendengar ceritera itu, sehingga dengan serta-merta di luar sadarnya Wijang bertanya, “Dua orang yang berpakaian rapi seperti orang yang hendak pergi ke perhelatan perkawinan sahabatnya.” “Ya.” Wijang memandang Paksi dengan tegang. Agaknya Paksi pun mengerti bahwa kedua orang perempuan itu adalah Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati. “Jika itu benar, maka nasib laki-laki muda itu sudah dapat diramalkan,” berkata Wijang dalam hatinya. Orang yang berceritera itulah kemudian yang kemudian bertanya, “Kau mengenal kedua perempuan itu?” Dengan cepat Wijang menjawab, “Tidak. Aku tidak mengenalnya. Kami hanya melihat sepintas. Kami juga merasa heran, bahwa dengan pakaian seperti itu, keduanya pergi ke pasar.” “Cara mereka berpakaian dan merias diri memang sangat menarik perhatian. Ada beberapa kesan yang timbul. Bahkan ada kesan yang agak buram. Agaknya keduanya sengaja menarik perhatian.” Wijang dan Paksi mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Wijang pun berkata, “Mungkin keduanya memang orang-orang dari lingkungan orang berada atau berkedudukan sehingga mereka terbiasa mengenakan pakaian dan rias yang demikian.” “Jika hal itu benar, maka kasihan mereka. Mereka akan mengalami perlakuan yang paling buruk dari anak Ki Demang itu.” “Tetapi apakah anak itu tidak memikirkan kemungkinan yang dapat terjadi kemudian. Jika kedua perempuan itu keluarga seorang senopati prajurit, bukankah itu berarti anak Ki Demang itu membunuh dirinya betapapun besar pengaruh Ki Demang di padukuhan ini. Anak Ki Demang itu akan dapat ditangkap. Jika ia melawan atau ayahnya berusaha melindunginya, maka para prajurit itu akan dapat mempergunakan alat-alat kekuasaan mereka.” Orang yang berceritera itu menggeleng. Katanya, “Anak Ki Demang itu tidak akan sempat berpikir sampai sekian. Tetapi jika hal itu terjadi, agaknya ada baiknya juga untuk sedikit memberi pelajaran kepada anak Ki Demang itu. Bahkan ayahnya sekaligus.” Namun di luar sadarnya Paksi berkata, “Sebentar lagi anak itu akan mendapat pelajaran pula.” “He?” orang yang berceritera itu bertanya. “Maksudmu?” Paksi terkejut sendiri. Namun ia pun kemudian menyahut, “Maksudku, pada suatu saat orang yang demikian itu akan mendapat hukumannya.” “Ya, pada suatu saat. Tetapi pada suatu saat itu kapan?” desis orang yang berceritera itu. Paksi tidak menjawab. Tetapi jantungnya menjadi berdebar-debar. “Jika keduanya itu benar Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati, maka sebentar lagi anak itu akan mendapat pelajaran,” berkata Paksi dalam hatinya. Tetapi Paksi tidak berkata apa-apa lagi. Demikian pula Wijang. Keduanya pun kemudian memusatkan perhatian mereka terhadap minuman dan makanan mereka. Orang yang berceritera itu pun kemudian bangkit berdiri demikian kawan-kawan mereka berdiri. Katanya, “Silahkan. Aku sudah selesai. Kami akan pulang.” Setelah membayar harga makanan dan minumannya, maka orang itu bersama-sama dengan kawan-kawannya melangkah menuju ke pintu kedai itu. Tetapi langkah mereka tertegun. Agaknya di kedai sebelah telah terjadi keributan. Orang yang telah berceritera kepada Paksi itu berpaling sambil berdesis, “Nah, perjalanan nasib buruk kedua perempuan itu sudah dimulai.” Tetapi di luar sadarnya pula Paksi menyahut, “Atau yang terjadi justru sebaliknya. Anak itu akan mendapat sedikit pelajaran dari kedua orang perempuan itu.” Orang itu termangu-mangu. Namun kawan-kawannya pun menggamitnya. Seorang di antara mereka berkata, “Aku tidak berurusan dengan peristiwa apa pun yang terjadi disini.” Demikianlah, maka orang-orang itu pun melangkah keluar pintu kedai dan segera turun ke halaman. Sementara itu, Wijang pun segera memberi isyarat kepada Paksi untuk keluar pula dari kedai itu dan melihat apa yang telah terjadi. Setelah membayar makanan dan minumannya, maka Wijang dan Paksi pun segera melangkah keluar pula. Demikian mereka keluar dari pintu kedai, maka mereka melihat perkelahian yang terjadi di depan kedai sebelah. Dua orang perempuan melawan ampat orang laki-laki yang garang. Seorang di antara mereka adalah anak Ki Demang itu. Tetapi pertempuran itu nampak tidak seimbang. Ampat laki-laki yang garang itu tidak berdaya menghadapi dua orang perempuan yang berpakaian bagus sebagaimana perempuan-perempuan dari lingkungan orang-orang berada. Wijang dan Paksi menarik nafas dalam-dalam. Anak Ki Demang itu memang mendapat pelajaran. Tetapi bukan sekedar saja. Ia benar-benar berada dalam kesulitan. Bersama dengan pengiringnya ia berusaha mempertahankan diri. Tetapi perempuan yang dilawannya itu mampu berkelahi dengan garangnya. Jauh berbeda dengan ujudnya. Dalam pada itu, beberapa orang penghuni kademangan yang melihat anak demangnya dihajar habis-habisan menyaksikan dengan dengan dada yang tegang. Semula mereka menganggap bahwa peristiwa itu akan sedikit memberikan peringatan kepadanya. Tetapi lambat laun mereka menjadi cemas, bahwa anak Ki Demang itu akan benar-benar dihancurkan oleh perempuan-perempuan yang asing bagi kademangan itu. Karena itu, seorang di antara mereka telah berlari ke serambi samping. Sejenak kemudian, maka terdengar bunyi kentongan dengan irama titir. Suasananya pun segera berubah menjadi kacau. Pasar di depan kedai itu memang sudah menjadi sepi. Tetapi orang-orang yang masih tersisa menjadi bingung. Mereka yang sedang mengemasi barang-barang dagangan mereka yang tersisa menjadi gelisah dan bahkan ketakutan. Tetapi mereka yang memiliki keberanian justru mempercepat kerja mereka. Ternyata dari sudut pasar, suara kentongan itu telah disahut pula. Seorang petugas yang menjaga ketertiban pasar telah ikut memukul kentongan dengan irama titir pula. Sementara itu dua orang petugas pasar yang lain, yang ditunjuk oleh Ki Demang tidak dapat tinggal diam melihat kesulitan yang dialami oleh anak muda itu, tetapi mereka tidak mau dianggap bersalah karena mereka tidak berbuat apa-apa ketika terjadi perkelahian di depan pasar. Sedang yang berkelahi dan kemudian mengalami kesulitan adalah anak Ki Demang yang mengangkat mereka bekerja di pasar itu. Dua orang petugas keamanan di pasar itu pun segera menggabungkan diri betapapun jantung mereka bergetar sejak mereka mendekati arena. Tetapi kedua orang di pasar itu tidak berarti apa-apa bagi kedua orang perempuan yang garang itu. Seperti diduga oleh Wijang dan Paksi, kedua orang perempuan itu adalah Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati. Anak Ki Demang itu benar-benar tidak berdaya. Darah sudah mengalir dari sela-sela bibirnya. Matanya nampak menjadi biru. Tulang-tulangnya terasa bagaikan berpatahan. “Seorang yang telah menyentuh tubuhku dengan tangannya tanpa aku kehendaki, maka tangan itu harus dipotong,” berkata Megar Permati. Namun Melaya Werdi bertanya, “Apakah kau tidak memerlukan anak itu?” “Buat apa anak lerut seperti itu? Aku tidak hanya akan memotong tangannya, tetapi aku juga akan memotong lehernya. Ia terlalu berani menyentuh tubuhku di atas batas leherku.” Seorang pengawal anak Ki Demang yang bertempur bersama anak Ki Demang itu melawan Megar Permati sama sekali sudah tidak berdaya. Sementara itu, petugas pasar yang datang membantunya itu telah terpelanting dan membentur dinding kedai. Anak demang itu benar-benar menjadi ketakutan. Namun dalam pada itu, suara kentongan dengan irama titir itu telah memanggil beberapa orang padukuhan. Bahkan beberapa orang bebahu. Mereka dengan serta-merta telah mengepung Melaya Werdi dan Megar Permati. Seorang bebahu dengan serta-merta berteriak, “Hentikan. Anak muda itu adalah anak Ki Demang.” Anak muda itu terbaring tidak berdaya. Di dekatnya Megar Permati berdiri sambil bertolak pinggang. Dengan kakinya ia menyentuh tubuh anak Ki Demang itu sambil berkata dalam nada tinggi, “O, jadi ini anak Ki Demang. Dimana Ki Demang itu sekarang?” Suasana menjadi semakin tegang. Nyi Melaya Werdi pun sudah tidak berkelahi pula. Dua orang pengawal anak Ki Demang yang berkelahi melawannya ditambah dengan seorang petugas pasar, telah terbaring diam. Agaknya mereka menjadi pingsan. Nyi Melaya Werdi pun melangkah mendekati adiknya sambil berkata, “Marilah. Kita tinggalkan tempat ini.” “Tidak. Aku tidak akan membiarkan anak ini mengganggu perempuan lagi. Jika perempuan-perempuan itu tidak berdaya, maka mereka akan menjadi korbannya.” Nyi Melaya Werdi memandang beberapa orang yang datang berlari-lari dari padukuhan di sekitar pasar. Bahkan dari padukuhan yang lain, suara kentongan telah merambat dengan cepat. Namun seorang bebahu telah berkata lantang, “Jangan ganggu lagi anak Ki Demang.” “Kau tidak melihat apa yang dilakukannya,” bentak Megar Permati. “Apa pun yang dilakukannya, tetapi kau tidak boleh memperlakukannya seperti itu.” “Jadi, karena ia anak demang, maka ia dapat berbuat sekehendak hatinya terhadap perempuan? Apakah ia juga memperlakukan perempuan-perempuan di kademangan ini seperti itu?” Bebahu itu termangu-mangu sejenak. Sebenarnya seperti orang lain di kademangan itu, ia pun menjadi muak terhadap tingkah laku anak Ki Demang itu. Tetapi seperti orang lain, bebahu itu tidak berani berbuat sesuatu. Dalam pada itu, selagi ketegangan menjadi semakin memuncak, terdengar derap kaki beberapa ekor kuda. Ketika orang-orang yang berkerumun itu berpaling, maka mereka telah melihat Ki Demang, Ki Jagabaya dan dua orang bebahu mendatangi tempat itu. Orang-orang pun segera menyibak. Sejenak kemudian keempat orang itu pun telah berloncatan dari punggung kudanya. “Apa yang terjadi?” bertanya Ki Demang. Seorang yang bertubuh tinggi, tegap, berdada bidang dan berkumis lebat di atas bibirnya yang tebal. Ki Jagabaya dengan serta-merta telah melangkah mendekati anak Ki Demang yang terbaring sambil mengerang kesakitan. Tetapi semua orang yang berdiri di sekitarnya terkejut bukan buatan. Di hadapan Ki Demang yang garang, perempuan yang telah menghajar anak Ki Demang itu berteriak sambil meletakkan kakinya di dada anak muda yang sudah tidak berdaya itu. “Iblis betina,” teriak Ki Demang, “siapa kau?” “Kaukah demang itu?” bertanya Megar Permati. “Nah, kau ternyata dapat mengenali aku. Anak itu anakku. Sikapmu itu sangat menyakitkan hatiku.” “Kebetulan sekali aku dapat bertemu dengan ayah dari anak yang gila ini. Ia telah mencoba menggangguku. Dikiranya aku perempuan jalanan yang dapat diperlakukan sekehendak hatinya. Atau anakmu memang terbiasa memperlakukan perempuan-perempuan seperti itu? Memaksakan kehendaknya, sementara jantungnya dicengkam oleh nafsu?” “Cukup. Apakah kau sadari bahwa tingkah lakumu itu akan dapat membunuhmu?” “Kau mau apa, demang gila? Kau kira kau dapat menakut-nakuti aku seperti menakut-nakuti rakyatmu?” Ki Demang itu pun kemudian memberikan isyarat kepada Ki Jagabaya, para bebahu dan orang-orang padukuhan yang telah lebih dahulu datang ke tempat itu untuk mengepung kedua orang perempuan itu. Sementara itu Melaya Werdi menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Jadi kita harus membunuh?” “Merekalah yang menentukan, apakah kita akan membunuh atau tidak.” Ki Demang yang marah itu ternyata tidak sempat menilai kedua orang perempuan itu. Karena itu, maka ia pun berkata lantang, “Tangkap perempuan itu. Mereka harus mendapat hukuman atas penghinaan mereka terhadap kademangan ini.” “Bagus,” teriak Megar Permati, “aku juga menunda niatku membunuh anakmu. Biarlah ia melihat bagaimana orang-orang kademangannya mati karena tingkah lakunya.” Namun Melaya Werdi lah yang kemudian berkata lantang, “Ki Sanak. Aku masih memberi kesempatan kepada kalian. Siapa yang tidak ingin mati, jangan dekati kami berdua. Sekali kami meloncat, maka kematian-kematian akan datang beruntun. Karena itu, aku minta kalian sempat membuat pertimbangan demi keselamatan kalian masing-masing.” “Diam kau perempuan iblis,” teriak Ki Demang. “Jangan mencoba dengan licik menyelamatkan dirimu.” “Jangan hanya berteriak-teriak. Ayo, siapa yang akan mati lebih dahulu.” Ki Demang, Ki Jagabaya dan para bebahu pun segera berloncatan maju. Beberapa orang yang mengepung mereka pun telah bergerak pula. Meskipun ada kecemasan di hati mereka, tetapi bersama banyak orang mereka menjadi berani. Ketakutan mereka kepada Ki Demang lebih mencengkam daripada kecemasan mereka menghadapi kedua orang perempuan itu..... “Apa yang dapat dilakukan oleh dua orang perempuan,” berkata orang-orang itu di dalam hatinya. Seperti yang dikatakan, Megar Permati tidak segera membunuh anak Ki Demang itu. Didorongnya anak muda itu dengan kakinya, sehingga berguling beberapa kali. Sementara itu, Ki Demang telah menyerangnya dengan keris di tangannya. Sebilah keris yang ukurannya lebih besar dari keris kebanyakan. Pamornya nampak berkilat-kilat tertimpa sinar matahari. Bersamaan dengan itu, seorang bebahu telah berlari menolong anak Ki Demang. Diangkatnya anak muda itu, dan dibawanya menepi. Sedangkan beberapa orang yang lain telah membantu Ki Demang menyerang perempuan yang telah menyakiti anak Ki Demang itu, bahkan dengan beraninya menghina Ki Demang itu sendiri. Sementara itu, Ki Jagabaya dengan beberapa orang yang lain telah langsung mengepung dan menyerang Nyi Melaya Werdi. Nyi Melaya Werdi sengaja mengambil jarak dari adik perempuannya, agar mereka dapat bertempur lebih leluasa. Nyi Melaya Werdi menghadapi lawan-lawannya dengan tangkasnya. Disingkapkannya kain panjangnya. Di bawah kain panjangnya Nyi Melaya Werdi mengenakan celana hitam sampai di bawah lututnya sebagaimana Nyi Megar Permati. Namun ternyata Nyi Megar Permati nampak lebih garang dari kakak perempuannya. Kakinya berloncatan dengan cepatnya sehingga seakan-akan tidak menyentuh tanah. Sementara itu beberapa ujung senjata beruntun datang menyerangnya. Betapapun tinggi ilmu Megar Permati, menghadapi banyak orang tanpa senjata di tangan telah membuatnya terdesak surut. Sementara itu kemarahannya telah menyala sampai ke ubun-ubunnya. Ki Demang memang menjadi sangat heran melihat perempuan cantik itu. Ternyata ia berilmu sangat tinggi. Meskipun Ki Demang dan beberapa orang bebahu serta orang-orang kademangan yang membantunya berhasil mendesak perempuan itu surut, tetapi Ki Demang menyadari, bahwa perempuan itu adalah perempuan yang sangat berbahaya. Ketika kemarahan Megar Permati menjadi tidak terkendali, maka perempuan itu telah mengibaskan selendangnya. Selendangnya yang di kedua ujungnya dihiasi pernik-pernik mas dan perak. Tetapi mas dan perak itu bukan sekedar perhiasan yang membuat selendangnya menjadi sangat mahal, tetapi mas dan perak itu menjadi sangat berbahaya jika Megar Permati mempergunakan selendangnya itu sebagai senjata. Sebenarnyalah, bahwa sejenak kemudian, selendang Megar Permati telah mulai menyebarkan malapetaka. Seorang bebahu yang bertempur bersama Ki Demang telah terlempar dari arena, jatuh berguling di tanah. Sambil menggeliat berputar-putar bebahu itu mengaduh kesakitan. Pundaknya telah terkoyak oleh senjata Megar Permati. Lukanya yang menganga telah mencucurkan darah yang hangat. Dalam pada itu, terdengar suara Nyi Melaya Werdi yang melengking menggetarkan jantung, “Ternyata kalian tidak tahu apa yang dapat terjadi atas diri kalian. Jika kalian tidak menarik diri, maka kematian demi kematian akan mencengkam kalian. Jika darah di dalam tubuh ini sudah terlanjur mendidih, maka tidak akan ada jalan kembali. Hanya nama kalian sajalah yang masih akan dikenang oleh orang-orang kademangan ini.” Tetapi seorang bebahu telah berteriak marah, “Menyerahlah. Kalian hanya berdua. Kalian telah dikepung sehingga kalian tidak akan dapat melarikan diri.” “Kau akan menyesal dengan sikapmu. Tetapi aku masih memberi kesempatan,” berkata Melaya Werdi. Tetapi Megar Permati justru berteriak, “Tidak ada belas kasihan lagi, Kakangmbok.” “Beri mereka kesempatan sekali lagi jika mereka masih ingin berumur panjang.” “Aku ingin menunjukkan kepada anak demang itu, bahwa akibat dari perbuatannya adalah mengerikan.” Namun Nyi Melaya Werdi masih berkata lantang, “Nah, kau dengar. Cepat, pergi dari sini.” Tetapi Ki Demang berteriak pula, “Kami akan menggantung kalian di halaman banjar kademangan karena kalian telah menghina kami dan seisi kademangan ini.” Nyi Melaya Werdi masih menyahut, “Jadi kau tetap akan bertempur demi anakmu yang gila itu?” “Persetan dengan igauanmu.” Ternyata jawaban Ki Demang itu merupakan aba-aba bagi Nyi Melaya Werdi dan Megar Permati. Kesempatan yang diberikan oleh Melaya Werdi itu telah disia-siakan, sehingga sejenak kemudian, maka darah pun menjadi semakin banyak tertumpah. Seorang lagi di antara mereka yang bertempur melawan Megar Permati telah terlempar keluar arena. Lambungnyalah yang terkoyak. Ternyata ia tidak sempat mengaduh. Ki Demang dan orang-orang yang bertempur bersamanya tidak sempat memperhatikan orang itu. Selendang Megar Permati telah mematuk seorang lagi. Seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan. Orang itu terpelanting jatuh menimpa bebatur kedai sehingga kepalanya retak selain dadanya bagaikan meledak. Beberapa tulang iganya patah. Demikian parah keadaannya, sehingga ia pun telah meninggal seketika. Ternyata Megar Permati benar-benar tidak mengekang diri lagi. Sementara itu semakin banyak orang yang datang karena kentongan masih saja meneriakkan irama titir. Beberapa orang laki-laki yang berani telah ikut serta mengepung kedua orang perempuan itu. Orang-orang yang semula membenci anak Ki Demang itu, ternyata tersinggung juga melihat dua orang perempuan yang telah mengacaukan kademangan mereka. Namun orang-orang kademangan yang tidak mempunyai pengalaman yang luas itu menjadi sangat gelisah melihat kegarangan lawan. Nyi Melaya Werdi yang telah memberikan kesempatan terakhir itu pun menjadi marah pula. Seperti adiknya, maka sejenak kemudian selendangnya pun telah memungut korban. Satu-satu lawannya terlempar keluar arena. Tidak sekedar terluka. Tetapi mereka telah terbunuh. Dengan demikian, maka orang-orang yang mengepung kedua orang perempuan itu mulai menjadi gentar. Hanya orang-orang yang mempunyai keberanian yang tinggi sajalah yang masih berani menyerang Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati. Sementara itu, keduanya benar-benar telah menyebarkan maut. Akhirnya kepungan itu pun menjadi semakin longgar. Orang-orang mulai berpikir, bahwa sulit bagi mereka untuk menundukkan kedua orang perempuan itu. Sementara itu, senjata Melaya Werdi dan Megar Permati bagaikan ular yang memburu dan mematuk lawannya tanpa ampun. Sikap Ki Demang pun mulai goyah. Sementara itu Megar Permati pun berteriak, “Terakhir, aku akan membunuh anak Demang edan itu dengan caraku. Tetapi jika ayahnya ingin ikut mati, aku sama sekali tidak berkeberatan. Kademangan ini akan segera mendapat seorang demang baru yang lebih baik, yang anaknya tidak gila seperti anak muda itu.” Ki Demang memang menjadi sangat cemas. Tetapi ia tidak akan membiarkan anaknya dibunuh. Karena itu, selagi masih banyak orang yang memiliki sisa-sisa keberanian, Ki Demang itu pun berteriak, “Bawa anak itu pergi.” Dua orang bebahu telah berusaha mengangkat anak Ki Demang yang sudah tidak berdaya itu dibantu oleh beberapa orang. Tetapi langkah mereka terhenti. Megar Permati telah meloncat menembus kepungan dengan melemparkan dua orang di antara mereka yang mencoba untuk menghalanginya. “Jangan bawa pergi anak itu. Aku memerlukannya. Ia akan mati seperti orang-orang yang mencoba membelanya, termasuk ayahnya. Letakkan anak itu.” Orang-orang yang mengangkat anak Ki Demang itu mencoba berlari. Tetapi selendang Megar Permati telah mematuk dua orang di antara mereka di punggung, sehingga tulang punggung mereka serasa berpatahan. Sementara itu, orang-orang lain tidak mampu mencegahnya. Apalagi kemudian, selendang itu telah berputaran melindungi tubuh Megar Permati dari ujung senjata di seputarnya. Seorang yang mencoba melemparkan tombaknya, ternyata runtuh oleh sentuhan selendang itu sebelum sempat melukai kulitnya. Dalam pada itu, Wijang dan Paksi memperhatikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Semula ia bergeser menjauh dan bahkan berusaha bersembunyi di balik pepohonan. Tetapi ketika mereka melihat Melaya Werdi dan Megar Permati menyebar kematian dengan semena-mena, jantung mereka pun berdentang semakin cepat. Meskipun mereka sudah mengira bahwa malapetaka bakal terjadi atas anak Ki Demang, tetapi yang terjadi itu ternyata jauh lebih mengerikan lagi. Apalagi Megar Permati masih juga berniat untuk membunuh anak Ki Demang itu dengan caranya. “Pelajaran itu sudah lebih dari cukup,” berkata Wijang di luar sadarnya. Paksi yang berdiri di dekatnya berdesis, “Tingkah laku mereka sudah keterlaluan.” “Kita harus menghentikannya. Keduanya akan menyebarkan kematian jauh lebih banyak lagi. Justru mereka yang tidak bersalah. Orang-orang itu berdiri di antara mulut buaya dan mulut harimau. Jika mereka tidak mau membantu Ki Demang, maka nasib mereka pun akan dapat menjadi sangat buruk, bahkan bersama keluarga mereka.” “Apa yang akan kita lakukan?” “Apaboleh buat. Kita tidak dapat bersembunyi terus sementara kedua orang perempuan itu membunuh tanpa kendali.” Paksi mengangguk. Meskipun masih ada sedikit keraguan, apakah ia mampu menghadapi perempuan-perempuan garang itu. Namun akhirnya ia telah membulatkan tekadnya. Ia tidak dapat berdiam diri melihat pembunuhan yang semena-mena. Sejenak kemudian, Wijang pun telah memberi isyarat, sehingga keduanya pun telah melangkah dengan cepat, mendekati arena pertempuran yang tidak seimbang itu. “Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati,” Wijang pun menyebut nama mereka untuk menghentikan pembunuhan-pembunuhan yang berlangsung itu. Sebenarnyalah Melaya Werdi dan Megar Permati terkejut mendengar namanya disebut. Karena itu, maka mereka pun telah meloncat mengambil jarak dari orang-orang yang sedang dibantainya. “Siapa kau?” bertanya Melaya Werdi ketika mereka melihat dua orang anak muda mendekatinya. Wijanglah yang menjawab, “Beruntunglah aku dapat bertemu dengan kalian disini. Kami adalah utusan khusus Harya Wisaka untuk mencari kalian, karena kalian tidak ada di sarang kalian. Kami mendapat tugas untuk membawa Pangeran Benawa kembali ke istana.” Kedua orang perempuan itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu, orang-orang kademangan yang merasa tidak berdaya itu berdiri bagaikan membeku di tempat mereka. “Aku tidak mengerti maksudmu,” desis Nyi Melaya Werdi. “Harya Wisaka telah mendapat pengakuan dari murid-muridmu yang tertawan ketika terjadi pertempuran di kaki Gunung Merapi itu. Kalian berdua telah menyimpan Pangeran Benawa di dalam sarangmu. Tetapi ternyata kalian sampai hari ini belum kembali ke sarangmu dan bahkan dengan semena-mena telah membunuh orang-orang tidak berdaya disini.” “Persetan dengan Harya Wisaka,” geram Melaya Werdi. “Aku tidak tahu-menahu tentang Pangeran Benawa.” “Jangan ingkar. Murid-muridmu yang tertawan di antara beberapa orang tawanan yang lain telah mengaku, bahwa Pangeran Benawa ada di tanganmu.” “Iblis kau. Kau telah mengganggu permainanku,” geram Megar Permati. “Pergilah dan katakan kepada Harya Wisaka, bahwa kami tidak tahu-menahu tentang Pangeran Benawa.” “Megar Permati,” sahut Wijang, “kau jangan ingkar. Pasukan segelar sepapan telah siap untuk melumatkan sarangmu di Goa Lampin yang dipimpin langsung oleh Harya Wisaka. Karena itu, sebaiknya kalian berdua berterus-terang, dimana Pangeran Benawa kalian sembunyikan. Jika kalian mau menyerahkan Pangeran Benawa, maka sarangmu tidak akan menjadi karang abang.” “Jangan mengigau kau anak ingusan,” jawab Megar Permati. “Sekarang pergilah. Biarlah aku mendapat kepuasan dengan permainanku ini.” “Aku tidak mempunyai banyak waktu. Jika kau tidak segera kembali, maka aku akan mendapat hukuman dari Harya Wisaka. Tetapi lebih buruk dari itu, Goa Lampin akan lenyap untuk selama-lamanya.” “Cukup,” bentak Melaya Werdi. “Sebenarnya sayang sekali untuk membunuh kalian berdua. Tetapi jika kalian berdua tidak mau kami jinakkan, maka kalian akan kami bunuh bersama dengan orang-orang kademangan ini.” Wijang pun sempat berdesis perlahan, “Hati-hatilah terhadap matanya, Paksi.” “Ya,” sahut Paksi singkat. Ia sadar sepenuhnya bahwa kedua perempuan itu memiliki kekuatan sihir yang dapat mencengkam penalaran seseorang, sehingga seseorang akan kehilangan kepribadiannya. Dalam pada itu, Ki Demang, para bebahu dan orang orang kademangan itu kembali berpengharapan. Kedua orang anak muda itu nampaknya telah mengenal kedua orang perempuan yang garang dan menakutkan itu. Jika mereka bukan orang-orang berilmu, maka mereka tidak akan berani menentang kedua orang perempuan itu. Wijang dan Paksi pun melangkah semakin dekat. Dengan lantang Wijang pun berkata, “Melaya Werdi, kau tidak mempunyai pilihan lain. Serahkan Pangeran Benawa kepada kami.” “Anak-anak setan. Apakah kalian sadari apa yang sedang kalian lakukan? Mungkin Harya Wisaka memberikan perintah itu kepadamu tanpa menjelaskan siapakah kami berdua.” “Kami mengetahui kalian berdua dengan sebaik-baiknya. Kami pun sudah melihat apa yang kalian lakukan terhadap orang-orang kademangan ini. Justru karena itu, maka kami telah dengan tergesa-gesa menemui kalian.” “Jika demikian, baiklah. Kami akan berurusan dahulu dengan kalian berdua. Baru kemudian kami akan menyelesaikan permainan kami,” berkata Melaya Werdi. Sedangkan Megar Permati pun kemudian berkata kepada Ki Demang, “Ki Demang, jangan mencoba membawa anakmu pergi selama aku mengurus kedua orang anak yang keras kepala ini. Jika kau bawa anakmu pergi, maka nanti aku akan mencarinya. Kademanganmu akan menjadi rusak. Aku akan membakar banyak rumah dan membunuh banyak orang termasuk perempuan dan kanak-kanak. Kaulah yang harus bertanggung jawab terhadap kematian dan kerusakan atas kademangan itu.” Jantung Ki Demang berdetak semakin cepat. Ia tidak tahu apa yang sebaiknya harus dilakukannya. Sementara itu, orang-orang yang mengangkat anaknya telah meletakkannya kembali di tanah sejak dua orang di antara mereka terpelanting jatuh karena punggungnya telah dipatuk oleh senjata Megar Permati. Sementara itu Wijang dan Paksi pun telah mengambil jarak. Meskipun Megar Permati lebih garang dari Melaya Werdi, tetapi Wijang meyakini bahwa Melaya Werdi mempunyai ilmu yang lebih matang. Karena itu, maka Wijang pun telah menempatkan dirinya untuk menghadapi Melaya Werdi. Ternyata Wijang telah memasang perisai di pergelangan tangannya. Sementara itu, kedua tangannya telah menggenggam pisau belatinya pula, justru karena yang dihadapinya adalah Melaya Werdi yang telah mengurai selendangnya. Sedangkan Paksi pun telah bersiap pula menghadapi Megar Permati yang garang. Namun Paksi pun menyadari, bahwa ilmu perempuan yang garang itu tidak sematang ilmu kakak perempuannya. Dengan hati-hati Paksi mempersiapkan diri. Ki Marta Brewok telah banyak memberikan petunjuk kepadanya untuk menghadapi segala macam senjata. Bahkan Paksi pun sudah bersiap untuk menghadapi tatapan mata pemimpin dari Perguruan Goa Lampin itu. Tatapan mata yang dapat mempengaruhi daya nalar dan budi seseorang. Menghadapi orang-orang yang mengaku pengikut Harya Wisaka itu, Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati nampak lebih berhati-hati. Kedua orang pengikut Harya Wisaka itu tentu tidak sekedar mampu berteriak-teriak sebagaimana orang-orang kademangan itu. Sejenak kemudian, maka selendang kedua orang perempuan itu pun mulai berayun. Wijang yang menggenggam dua pisau belatinya serta mengenakan penutup pergelangan tangannya yang juga merupakan perisai itu, bergeser beberapa langkah. Wijang pun sadar, bahwa lawannya adalah seorang perempuan berilmu tinggi. Ketika kemudian Melaya Werdi mengibaskan selendangnya, Wijang pun bergeser surut selangkah. Sambaran angin menunjukkan kepada lawannya, betapa tinggi ilmunya sehingga lawannya yang masih muda itu harus berpikir dua tiga kali untuk bertempur melawannya. “Apakah kau tetap ingin melaksanakan perintah Harya Wisaka untuk memaksa kami menyerahkan Pangeran Benawa yang memang tidak berada di tangan kami?” “Kami tidak mempunyai pilihan lain,” jawab Wijang. “Bersiaplah. Kau tidak akan mampu bertahan sepenginang.” Wijang tidak menjawab. Tetapi ia pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Senjata lawannya adalah senjata yang sangat berbahaya. Apalagi di tangan Melaya Werdi yang berilmu sangat tinggi itu. Sejenak kemudian, maka selendang Melaya Werdi itu sudah berputar. Semakin lama semakin cepat. Ayunannya yang deras menyambar ke arah tubuh Wijang. Tetapi tubuh Wijang itu telah melayang menghindarinya. Serangan-serangan selanjutnya pun datang beruntun. Namun kedua pisau belati Wijang itu pun berputaran pula. Benturan-benturan segera terjadi. Setiap kali ujung selendang Melaya Werdi itu telah menyentuh pergelangan tangan Wijang yang dilindungi oleh lembaran kulit yang lebar yang melingkari pergelangannya itu. Setiap kali Melaya Werdi mengerutkan dahinya. Ujung selendangnya itu terasa bagaikan menyentuh lapisan baja yang tidak tertembus oleh senjatanya itu. Dengan demikian, maka Nyi Melaya Werdi pun telah meningkatkan kemampuannya pula. Selendangnya berputaran semakin cepat. Setiap kali ujung selendang itu telah menyambar dengan derasnya. Namun kemudian mematuk dengan garangnya. Tetapi setiap kali, lawannya mampu menghindar, menangkis dan bahkan sekali-sekali terasa selendang itu bagaikan terkait oleh ujung-ujung sepasang belati anak muda itu. Nyi Melaya Werdi memang menjadi cemas. Belati itu memang bukan belati kebanyakan. Ketajaman penglihatan Melaya Werdi sempat melihat peletik-peletik pamor pada pisau belati itu. “Nampaknya memang seperti sebilah keris,” berkata Melaya Werdi di dalam hatinya, “tetapi hulunya sajalah yang sengaja dibuat sederhana seperti hulu pisau belati.” Dengan demikian, maka Melaya Werdi harus semakin berhati-hati. Ia tidak ingin selendangnya menjadi cacat oleh ujung belati lawannya yang mendebarkan itu. Dalam pada itu, kecepatan gerak Wijang bukan saja mampu menghindari serta menangkis setiap serangan Melaya Werdi. Namun serangan-serangannya justru mampu mengejutkan perempuan yang berilmu tinggi itu. Dalam pada itu, Megar Permati pun telah bertempur dengan garangnya. Namun setiap kali ujung selendangnya telah membentur tongkat lawannya. Tongkat yang ujudnya tidak lebih dari sepotong kayu yang seakan-akan begitu saja dipatahkannya dari pagar di pinggir jalan. Namun ternyata tongkat itu mampu menggetarkan tangannya jika selendangnya membenturnya. Dengan demikian, maka Megar Permati pun menjadi berdebar-debar. Ia tidak mengira bahwa anak muda itu ternyata memiliki ilmu yang mampu mengimbangi ilmunya. Paksi yang sejak semula sudah mengetahui bahwa Megar Permati memiliki ilmu yang tinggi, bertempur dengan sangat berhati-hati. Paksi sendiri menyadari, bahwa pengalamannya masih terlalu sempit dibanding dengan pengalaman Megar Permati. Namun keyakinannya tentang ilmu yang didasari oleh gurunya dan yang kemudian ditingkatkan dan dimatangkan oleh Ki Marta Brewok, membuat Paksi mampu bertempur dengan mapan. Tongkatnya berputaran dengan cepat. Bukan saja sekedar menangkis serangan-serangan lawannya. Tetapi sekali-sekali Paksi pun mampu menyerang pula. Bahkan sekali-sekali Megar Permati terpaksa meloncat surut untuk mengambil jarak dari ujung tongkat Paksi yang seakan-akan memburunya itu. Dalam pada itu, Ki Demang dan orang-orangnya menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Mereka sama sekali tidak mengenal dua orang anak muda yang tiba-tiba datang dan bahkan telah mengambil alih pertempuran, melawan kedua orang perempuan yang garang itu. Sementara itu pertempuran pun semakin lama menjadi semakin sengit. Megar Permati tidak lagi mengekang diri. Serangan-serangannya langsung mengarah ke tempat-tempat yang paling berbahaya pada tubuh Paksi. Namun Paksi pun dengan tangkasnya mampu mengimbanginya. Bahkan semakin lama Paksi pun menjadi semakin percaya diri. Betapapun tinggi kemampuan Megar Permati serta betapapun luasnya pengalamannya, namun masih dalam jangkauan batas kemampuan Paksi meskipun Paksi harus mengerahkan segenap kemampuannya. Ki Demang dan orang-orang kademangan yang datang ke tempat itu, tidak lagi mampu menilai pertempuran itu. Pertempuran yang seakan-akan tidak lebih dari kelebat bayangan yang berterbangan berputar-putar. Dalam pada itu, seorang bebahu yang menyadari keadaan sempat berbisik di telinga Ki Demang, “Kita dapat meninggalkan tempat ini. Biarlah mereka menyelesaikan pertempuran itu.” Ki Demang berpikir sejenak. Hampir saja ia menyetujui pendapat itu. Namun ternyata ada sesuatu yang menghambatnya. “Aku tidak dapat meninggalkan kedua orang anak muda itu begitu saja,” berkata Ki Demang. “Mereka telah memberikan harapan kepada kita untuk hidup. Dalam keadaan yang memaksa, kita harus membantunya, apa pun yang terjadi.” “Tetapi pertempuran itu benar-benar tidak dapat kita mengerti.” “Bagaimanapun juga, kita dapat mengganggu pemusatan nalar budi kedua orang perempuan itu. Mungkin kita masih harus memberikan korban lagi. Tetapi itu tentu lebih baik daripada kita meninggalkan arena ini. Jika kedua perempuan itu memenangkan pertempuran, maka mereka akan dapat menghancurkan seluruh kademangan. Mereka dapat membunuh lebih banyak lagi. Bahkan perempuan dan anak-anak.” Bebahu itu termangu-mangu sejenak. Perasaannya yang paling dalam merasakan perubahan sikap Ki Demang. Ternyata Ki Demang itu tidak lagi memikirkan dirinya sendiri atau keluarganya. Ia masih memikirkan kedua orang anak muda yang telah membantunya meskipun keduanya mempunyai alasan tersendiri. Ki Demang memang tidak beranjak dari tempatnya. Orang-orang kademangan itu pun telah menahan diri pula untuk tidak lari dari arena. Namun Ki Demang itu pun kemudian berkata, “Cari air. Usahakan menolong anakku. Tetapi kau tidak usah membawanya pergi.” Bebahu itu pun kemudian telah memerintahkan seseorang untuk mencari air bagi anak Ki Demang yang ada dalam keadaan parah. Sementara itu, Nyi Melaya Werdi dan Megar Permati masih bertempur dengan sengitnya. Bahkan semakin lama menjadi semakin sengit. Mereka telah berada pada puncak kemampuan mereka masing-masing. Selendang Melaya Werdi dan Megar Permati berputaran semakin cepat. Bahkan kemudian selendang itu bagaikan kabut yang mengepul di sekitar tubuh Melaya Werdi dan Megar Permati. Namun Wijang dan Paksi sama sekali tidak menjadi gentar. Tongkat Paksi pun berputaran pula. Bahkan beberapa kali Paksi sengaja membenturkan tongkatnya, menghantam kabut yang menyelimuti tubuh Megar Permati. Ternyata tenaga dalam Paksi setiap kali mampu menggetarkan dada Megar Permati. Benturan yang terjadi, rasa-rasanya telah menggetarkan bukan saja tangan Megar Permati. Tetapi merambat menyusup di antara urat-uratnya sampai ke jantung. Sementara itu Melaya Werdi pun mulai gelisah. Sekali-sekali masih terasa ujung-ujung pisau belati lawannya, seakan-akan telah terkait pada anyaman selendangnya. Bahkan pada perhiasan mas dan perak di ujung-ujung selendangnya. Dalam puncak kekuatan dan kemampuan masing-masing, maka ujung pisau itu akan dapat mengoyakkan selendang pusakanya itu. “Anak ini memang gila,” geram Melaya Werdi. Wijang ternyata mendengar geram itu. Karena itu, maka ia pun menjadi semakin berhati-hati. Agaknya Melaya Werdi akan segera sampai pada ilmu puncaknya, yang hanya dilepaskan dalam keadaan yang paling gawat. Sementara itu, Megar Permati pun semakin lama semakin mengalami kesulitan pula melawan Paksi. Tongkat Paksi semakin lama menjadi semakin berbahaya. Bahkan Megar Permati itu terkejut dan melompat mengambil jarak ketika ujung tongkat Paksi itu sempat menyentuh lengan bajunya. “Anak iblis,” Megar Permati mengumpat marah ketika ia mengetahui bahwa lengan bajunya terkoyak. Paksi tidak segera memburunya. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Dalam pada itu, Melaya Werdi benar-benar telah mengerahkan ilmu pamungkasnya. Selendangnya yang berputar tidak saja seakan-akan merupakan lingkaran kabut yang menyelubungi tubuhnya. Tetapi kabut itu semakin lama menjadi semakin kemerah-merahan. Udara yang bergetar karena putaran selendang itu pun menjadi hangat dan bahkan semakin lama semakin panas. Kabut itu tidak lagi nampak karena putaran selendangnya, tetapi selendang yang kemudian menjadi kemerah-merahan itu benar-benar telah berasap. Wijang menyadari keadaannya. Ilmu yang sangat berbahaya itu akan dapat menelannya dan bahkan membuatnya menjadi arang. Karena itu, maka Wijang pun telah meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak. Dengan memusatkan nalar budinya, maka Wijang pun telah mengetrapkan ilmunya pula. Sambil menggenggam pisau belatinya, Wijang menyilangkan kedua tangannya di dadanya. Tubuh Wijang itu tiba-tiba seakan-akan telah mengembun. Asap yang dingin bagaikan mengepul dari lubang-lubang kulitnya. Seperti tertiup angin yang lembut, maka asap yang dingin itu mengalir perlahan-lahan, berputar mengelilingi tubuhnya. Melaya Werdi terkejut. Ia sudah menjelajahi dunia olah kanuragan yang penuh dengan belukar yang berduri runcing. Namun ia masih juga terkejut dan berdebar-debar melihat kemampuan anak muda itu. Udara panas yang dipancarkan dari putaran selendang Nyi Melaya Werdi itu seakan-akan telah terhisap membeku ke dalam asap yang mengelilingi tubuh Wijang. Bahkan Wijang kemudian tidak hanya berdiri membeku sambil menyilangkan tangannya. Beberapa saat kemudian, maka Wijang pun telah berloncatan menyerang lawannya, sementara asap putih itu masih saja selalu berada di seputarnya kemana pun ia bergeser. Dengan demikian, maka ilmu Nyi Melaya Werdi tidak mampu menghadapi asap yang dingin di seputar tubuh Wijang. Pertahanan yang membuat benturan yang lunak dengan ilmu Nyi Melaya Werdi itu benar-benar menyulitkan kedudukannya. Karena itu, maka Nyi Melaya Werdi itu pun harus berloncatan surut untuk menghindari serangan-serangan sepasang pisau belati di tangan anak muda itu. Sementara itu, Megar Permati pun menjadi semakin terdesak oleh serangan-serangan Paksi. Beberapa kali Megar Permati harus meloncat surut, sementara Paksi masih saja terus mendesaknya. Namun tiba-tiba Megar Permati itu menghentikan putaran selendangnya. Bahkan perempuan itu pun kemudian berkata, “Tunggu, anak muda. Ternyata kau memiliki ilmu yang sangat tinggi.” Paksi yang sudah siap menyerang itu memang tertegun sejenak. Dipandanginya wajah Megar Permati sejenak. Wajah yang berkerut dan menegang. Namun wajah itu perlahan-lahan telah berubah. Namun Megar Permati itu justru mulai tersenyum. Paksi menjadi heran melihat perubahan itu. Bahkan jantungnya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat kedua mata Megar Permati yang seakan-akan menjadi berkilat-kilat. “Apakah kau benar-benar menjadi marah, anak muda,” bertanya Megar Permati sambil tersenyum. Tiba-tiba saja bulu-bulu tengkuk Paksi meremang. Ia tidak menjadi gentar melihat permainan selendang Megar Permati yang garang. Namun ketika ia melihat Megar Permati tersenyum maka debar jantungnya serasa menjadi semakin cepat. “Aku tidak bersungguh-sungguh, anak muda,” berkata Megar Permati dengan lembut. Paksi masih berdiri membeku di tempatnya. Dalam pada itu, selagi Paksi dicengkam oleh kegelisahan, terdengar Wijang yang masih bertempur dengan Melaya Werdi berteriak, “Hati-hati dengan matanya.” Paksi seperti terbangun dari mimpinya. Ia sempat melihat mata Megar Permati yang berkilat-kilat. Terasa getar tatapan mata itu mulai menyentuh hatinya. Namun peringatan Wijang itu sempat menggugah kesadarannya, bahwa tatapan mata Megar Permati itu sangat berbahaya. Ada kekuatan sihir yang memancar dari sepasang mata itu. Karena itu, maka Paksi pun harus meningkatkan daya tahannya serta kemampuan mempertebal kesadaran dirinya. Ia tidak boleh kehilangan kepribadiannya dan tunduk kepada kehendak Megar Permati. Peringatan Wijang itu membuat jantung Megar Permati bagaikan terbakar. Tetapi ia masih mencoba menahan diri. Ia masih ingin meyakinkan dirinya atas kemampuan daya tahan lawannya yang masih muda itu. Karena itu, maka Megar Permati itu masih saja tersenyum sambil berkata, “Jangan takut, anak muda. Pandang mataku. Kau akan melihat indahnya dunia ini. Kau akan melihat betapa luasnya langit dan betapa cerahnya cahaya matahari. Kau akan melihat dirimu sendiri yang mengambang dalam kenikmatan hidup yang tidak akan sempat kau nikmati pada kesempatan lain.” Paksi menggeratakkan giginya. Meskipun ia memiliki kemampuan daya tahan yang tinggi serta kesadaran akan dirinya yang kuat, tetapi Paksi tidak mau memandang mata Megar Permati. Terdengar suara Megar Permati yang ramah, “Kenapa kau malu, anak muda. Kau akan melihat mataku. Kau akan mendengar suaraku. Kau akan melakukan apa yang aku katakan. Marilah. Jangan malu.” Paksi memang mengangkat wajahnya. Tetapi ia sudah memagari jantungnya dengan kesadaran yang tinggi, bahwa dirinya tidak akan terbenam ke dalam pengaruh sihirnya. “Megar Permati,” berkata Paksi, “kau tidak usah mencoba mempergunakan sihirmu untuk menguasai kehendakmu atas aku. Karena itu, kau tidak usah tersenyum-senyum seperti itu, karena aku tetap menyadari, bahwa di balik senyummu itu tersembunyi jantungmu yang berbulu setajam duri.” Senyum Megar Permati pun tiba-tiba lenyap dari bibirnya. Bahkan perempuan itu pun menggeram, “Anak iblis. Kau benar-benar akan mati.” “Kematianku tidak berada di tanganmu,” sahut Paksi. Lalu katanya, “Sekarang lebih baik kau serahkan Pangeran Benawa itu kepada kami. Kami akan pergi dan menyerahkannya kepada Harya Wisaka. Kami berjanji tidak akan menyakitimu dan tidak akan mengganggu perguruanmu.” Megar Permati tidak menjawab. Tetapi selendangnya kembali berputar dengan cepatnya. Namun pada saat yang bersamaan, Nyi Melaya Werdi benar-benar telah terdesak. Panas apinya tidak mampu mengatasi dinginnya embun lawannya. Bahkan udara yang dingin itu mulai merambah mencengkam kulitnya. Nafasnya pun menjadi terganggu karena udara pun seakan-akan telah membeku di lubang hidungnya. Sementara itu, serangan-serangan anak muda itu masih saja memburunya. Ujung pisau belati itu seakan-akan mulai berdesing di telinganya seperti seekor nyamuk yang berterbangan di sekeliling kepalanya. Karena itu, maka Nyi Melaya Werdi tidak mempunyai pilihan lain. Ia pun segera memberikan isyarat kepada Megar Permati dengan siulan nyaring. Sejenak kemudian, kedua orang perempuan itu pun dengan cepatnya meloncat surut. Kemudian dibentangkannya selendangnya sepanjang kedua lengannya yang merentang. Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati itu bagaikan terbang meninggalkan arena. Paksi sudah bersiap untuk memburunya. Namun Wijang berdesis, “Biarkan mereka pergi.” Paksi mengurungkan niatnya. Sambil menarik nafas panjang ia berkata, “Kenapa kita melepaskan mereka?” “Apakah kau mempunyai kerangkeng untuk mengurungnya?” Paksi pun terdiam. Sementara Wijang itu pun berkata, “Mereka tidak akan pernah melupakan kekalahan ini. Tetapi itu bukan persoalan kita lagi. Itu persoalan mereka dengan Harya Wisaka.” Paksi tersenyum. Namun ia pun kemudian berdesis perlahan, “Mudah-mudahan mereka mempercayainya.” Sementara itu, Ki Demang dan orang-orangnya berdiri termangu-mangu. Mereka telah terpukau oleh pertempuran yang telah terjadi. “Bagaimana dengan anakmu?” bertanya Wijang kepada Ki Demang. Ki Demang termangu-mangu sejenak. Dalam keadaan biasa, ia tidak mau mendengar pertanyaan seperti itu. Ia adalah demang yang berkuasa di kademangan itu. Tetapi menghadapi kenyataan yang terjadi, maka Ki Demang itu mengangguk hormat sambil menjawab, “Keadaannya cukup parah, anak muda.” Wijang pun kemudian melangkah mendekati anak Ki Demang yang terbaring sambil mengerang kesakitan. Sebenarnyalah keadaan anak muda itu memang parah. Namun agaknya masih berpengharapan jika ia ditangani oleh seorang tabib yang baik. “Apakah di kademangan ini ada tabib yang baik?” bertanya Wijang kemudian. “Ada, anak muda,” jawab Ki Demang. “Seorang tua yang mempunyai pengalaman yang cukup luas.” “Baik. Hubungi tabib itu. Serahkan anakmu dalam perawatannya agar keadaannya dapat membaik. Berdoalah untuk anakmu. Kau tahu artinya?” Ki Demang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk, “Aku mengerti, anak muda.” “Selanjutnya, kau harus menemukan arti dari keseluruhan peristiwa ini. Kau harus berani melihat ke belakang. Kau harus mengenali anakmu lebih baik lagi. Apa yang pernah dilakukannya dan apa yang tadi dilakukan, sehingga ia mendapat malapetaka. Kau pun harus mengenali dirimu sendiri. Apa yang pernah kau lakukan dan apa yang pernah kau lakukan buat anakmu? Bukan memanjakannya, tetapi berbuat sesuatu yang membuat hidup anakmu itu berarti bagi banyak orang.” Ki Demang tidak menjawab. Kepalanya menunduk. Sekali-sekali ia sempat melihat anaknya yang dalam keadaan parah, mengerang kesakitan. “Bawa anakmu pulang. Ingat apa yang terjadi hari ini. Jika tidak terjadi perubahan atas dirimu dan tingkah laku anakmu, maka yang akan membunuh anakmu bukan kedua orang perempuan itu. Tetapi aku. Meskipun demikian kau boleh mengetahui, bahwa kedua orang perempuan itu adalah pemimpin tertinggi Perguruan Goa Lampin. Jika kau belum pernah mendengar, maka aku akan memberitahukan, bahwa Goa Lampin adalah ajang pembantaian bukan saja atas wadag seseorang, tetapi terutama jiwanya.” Jantung Ki Demang terasa berdebar semakin cepat. Ia memang belum pernah mendengar Perguruan Goa Lampin. Tetapi keterangan anak muda itu membuatnya menjadi resah. “Pulanglah,” berkata Wijang kemudian. “Apakah kalian tidak singgah di rumahku?” bertanya Ki Demang. Wijang menggeleng. Katanya, “Terima kasih. Kami akan meneruskan perjalanan. Tetapi pada suatu saat kami akan singgah. Kami akan melihat apakah anakmu sudah berubah atau belum. Jika belum, maka aku akan membawanya, mengajarinya dengan caraku agar ia sedikit menghargai orang lain, terutama perempuan-perempuan.” “Ya, ya, anak muda. Aku akan mengajarinya.” “Kami pun ingin melihat caramu menjalankan tugasmu sebagai demang pada kesempatan lain. Kami adalah utusan Harya Wisaka yang mempunyai pengaruh yang besar di istana. Harya Wisaka akan dapat memerintahkan sekelompok prajurit untuk menangkapmu dan membawamu ke Pajang.” “Ya, ya, anak muda,” Ki Demang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian dengan nada rendah ia berkata, “Tetapi apakah kedua orang perempuan itu tidak akan mendendam kami?” “Mereka akan melupakan kalian. Mereka mempunyai persoalan yang jauh lebih penting dari mengurus anakmu. Tetapi yang terjadi ada juga gunanya bagi anakmu.” Ki Demang mengangguk kecil. Katanya, “Kami mohon ampun.” “Sudahlah. Aku akan pergi,” berkata Wijang kemudian. Namun ia masih sempat berkata sambil melangkah pergi, “Rakyatmu menjadi saksi apa yang telah terjadi disini.” Ki Demang terdiam. Tetapi di luar sadarnya ia memandang ke sekelilingnya. Beberapa orang bebahu serta orang-orang kademangannya, terutama di padukuhan itu, berdiri termangu-mangu. Sementara itu, anak Ki Demang masih saja mengerang kesakitan. Sedangkan beberapa orang terbaring diam. Ada di antara mereka yang terluka parah sehingga pingsan. Tetapi ada yang benar-benar telah terbunuh. Wijang dan Paksi pun tidak berpaling lagi. Mereka melangkah semakin jauh. Demikian keduanya hilang di tikungan, maka perhatian Ki Demang pun segera beralih kepada anaknya yang terluka parah. Kemudian dipandanginya beberapa orang yang juga telah menjadi korban karena kelakuan anak laki-lakinya. Ki Demang memang sangat menyesali perbuatan anaknya. Tetapi ia pun menyesali dirinya sendiri pula. Ia terlalu memanjakan anaknya itu. Apa yang dikehendakinya selalu dipenuhinya. Bahkan jika anaknya tertarik pada seorang perempuan tanpa memperdulikan keadaannya. Anak Ki Demang itu sudah memberikan beberapa orang gadis yang terlanjur mengandung kepada beberapa orang laki-laki dan memaksa mereka untuk menikahinya. Beberapa orang bebahu dan orang-orang kademangan yang sudah merasakan aman itu, mulai menilai lagi peristiwa itu. Mereka bersyukur bahwa akhirnya ada juga orang yang dapat memaksa anak Ki Demang itu untuk menyadari tingkah lakunya. Bahkan Ki Demang pun telah dipaksa untuk menilai sikapnya pula..... Sementara itu, Wijang dan Paksi pun telah berjalan semakin jauh. Dengan nada berat Wijang pun berkata, “Kita terpaksa harus memperlihatkan diri di antara para pemimpin perguruan yang sedang mencari Pangeran Benawa itu.” Paksi mengangguk kecil sambil menjawab, “Ya. Yang terjadi adalah di luar kehendak kita.” “Anak demang itu memang gila. Seandainya tidak ada korban lagi, kita dapat meninggalkannya pergi. Tetapi kita tidak akan dapat membiarkan kedua orang perempuan itu membantai orang-orang padukuhan yang tidak bersalah itu. Orang-orang yang demikian takutnya kepada Ki Demang, sehingga mereka tidak mempunyai pertimbangan lagi untuk melakukan perbuatan yang bodoh itu.” “Tetapi kenapa ketakutan mereka kepada maut yang ditebarkan oleh kedua orang perempuan itu tidak dapat mengalahkan ketakutan mereka kepada Ki Demang.” “Ketakutan mereka kepada Ki Demang sudah berlangsung bertahun-tahun. Ketakutan itu seakan-akan telah melapisi dinding jantung mereka. Semakin lama menjadi semakin tebal, sehingga dapat mengalahkan perasaan-perasaan yang lain.” Paksi mengangguk-angguk. Orang-orang kademangan itu telah dicekam oleh kekuasaan Ki Demang yang sewenang-wenang itu sejak bertahun-tahun sehingga mereka tidak dapat melepaskan diri lagi daripadanya. Namun Paksi pun kemudian berdesis, “Kemana Melaya Werdi dan Megar Permati itu melarikan diri?” “Entahlah. Mungkin mereka pun mengurungkan niatnya untuk mencari Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Tetapi mungkin pula mereka justru ingin melepaskan dendamnya kepada suami istri itu.” “Tetapi mereka akan berpikir ulang jika mereka akan bersikap keras terhadap Repak Rembulung dan Pupus Rembulung yang nampaknya cukup meyakinkan itu.” Wijang mengangguk-angguk. Namun ia tidak mengatakan sesuatu. Beberapa saat mereka saling berdiam diri. Di telinga Paksi terngiang kembali kata-kata Ki Pananggungan, bahwa meskipun Repak Rembulung dan Pupus Rembulung itu berilmu tinggi, namun mereka masing-masing tidak akan melampaui kemampuan Paksi. “Mudah-mudahan,” berkata Paksi di dalam hatinya. Ia semakin yakin akan dirinya, setelah ia mampu mengalahkan Megar Permati. Bahkan ia pun mampu menangkal ilmu sihirnya pula. Wijang dan Paksi itu pun melangkah terus menyusuri jalan berbatu-batu. Sentuhan kaki mereka telah menebarkan debu yang kelabu. Beberapa orang yang lain pun berjalan dengan cepatnya pula menyusuri bayang-bayang dedaunan dari pohon yang tumbuh di pinggir jalan. Di luar sadarnya, Wijang dan Paksi berjalan mengikuti jalan menuju ke Kembang Arum. Tetapi Kembang Arum masih cukup jauh. Ketika keduanya melewati sebuah padukuhan yang pernah terjadi tempat tinggal seorang yang menyebut dirinya Bahu Langlang, mereka sempat berhenti sejenak di depan regol halaman. “Rumah Bahu Langlang,” desis Paksi. “Nampaknya rumah ini sudah kosong,” sahut Wijang. Paksi mengangguk-angguk. Rumah Bahu Langlang itu memang kosong. Agaknya sejak Bahu Langlang meninggalkan rumah itu, maka semua penghuninya pun telah pergi pula. Kecuali tidak ada lagi ikatan, mereka juga takut menanggung beban, karena Bahu Langlang ternyata mempunyai banyak musuh. Wijang dan Paksi itu pun kemudian melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Kembang Arum. Meskipun keduanya dapat berjalan lebih cepat, tetapi keduanya tidak merasa tergesa-gesa. Karena itu, maka mereka berjalan seenaknya. Menyusuri bulak-bulak panjang dan kemudian mereka memilih jalan singkat lewat lorong sempit di pinggir hutan yang jarang sekali dilalui orang. Mereka memang tidak menemukan jejak apapun. Agaknya Melaya Werdi dan Megar Permati tidak menuju ke Kembang Arum atau setidak-tidaknya mereka tidak melalui lorong di pinggir hutan itu. Ketika malam turun, Paksi dan Wijang baru saja meninggalkan lorong di pinggir hutan itu. Ternyata keduanya tidak berniat untuk melanjutkan perjalanan. Mereka ingin berhenti dan beristirahat. Karena itu, maka mereka pun telah mencari tempat untuk beristirahat dan bermalam. Bergantian mereka tidur malam itu di atas rerumputan kering di padang perdu. Binatang-binatang malam terdengar saling bersahutan. Ketika dari hutan itu terdengar aum seekor harimau lapar, Wijang yang mendapat giliran untuk berjaga-jaga tidak menghiraukannya. Tetapi ketika kemudian ia mendengar anjing hutan menyalak bersahutan, maka Wijang menarik nafas dalam-dalam. “Mudah-mudahan anjing itu tidak berkeliaran di padang perdu ini,” berkata Wijang dalam hatinya. Wijang lebih senang menghadapi seekor harimau loreng yang besar dari pada sekelompok anjing hutan yang licik. Tetapi ketika Wijang melihat beberapa batang pohon yang cukup besar, hatinya menjadi tenang. Ia dapat memanjat pohon itu, sehingga anjing-anjing liar itu tidak dapat memburunya. Ketika kemudian giliran Paksi untuk berjaga-jaga, maka Wijang pun berpesan, “Hati-hati dengan anjing-anjing yang licik itu. Mereka datang dalam kelompok yang besar.” Paksi mengangguk sambil mengusap matanya yang merah. “Hati-hati. Kau tidak boleh tidur lagi sampai menjelang fajar.” Paksi mengangguk. Wijang pun kemudian telah membaringkan dirinya di atas rerumputan kering. Sekali ia menguap. Namun kemudian Wijang itu pun telah tidur. Seakan-akan sama sekali tidak ada beban di kepalanya, sehingga dengan cepat ia menjadi lelap. Paksi lah yang setiap kali mengusap matanya. Embun terasa mulai menitik dari dedaunan. Namun tidak ada persoalan yang timbul malam itu. Menjelang fajar Wijang pun sudah terbangun. Berbenah diri dan kemudian melanjutkan perjalanan. Kembang Arum bagi keduanya sudah tidak jauh lagi. Sebelum panas matahari terasa menggigit kulit menjelang tengah hari, mereka sudah akan berada Padukuhan Kembang Arum. Tetapi pagi itu keduanya menyempatkan diri untuk singgah di sebuah kedai kecil. Penjual nasi yang sudah tua itu melayani mereka dengan lamban, sehingga rasa-rasanya untuk menunggu minuman dan makanan mereka harus duduk sampai punggungnya menjadi penat. Karena itu, maka perjalanan mereka terlambat beberapa saat. “Aku tidak telaten,” desis Paksi. Wijang tertawa pendek. Katanya, “Kenapa tergesa-gesa. Bukankah kita tidak dibatasi oleh waktu?” Paksi mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun tersenyum pula. Panas matahari mulai terasa menggatalkan kulit. Semakin lama semakin terasa. Keringat pun mulai mengembun di kening. “Padukuhan itu sudah tidak terlalu jauh lagi.” “Masih berapa lama kita berjalan?” “Jika kita tidak terhambat di kedai itu, kita sudah tinggal sebulak lagi.” “Sudahlah.” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ketika mereka mendekati Padukuhan Kembang Arum, maka matahari pun hampir sampai ke puncak langit. Panasnya sudah menjadi semakin terasa menggigit kulit. Beberapa orang yang bekerja di sawah telah meletakkan cangkul mereka, yang sedang membajak pun telah menyandarkan bajak mereka di pematang. Beberapa orang perempuan dengan menggendong bakul berjalan di bulak-bulak panjang membawa kiriman makan dan minuman bagi mereka yang bekerja di sawah. Wijang dan Paksi melangkah terus menyusuri jalan bulak yang panjang. Beberapa puluh langkah di hadapan mereka, seorang perempuan berjalan seorang diri ke arah yang berlawanan. Namun kemudian perempuan itu telah berbelok melalui jalan sempit yang di sebelah-menyebelah ditumbuhi pohon jarak dan gerumbul-gerumbul perdu. Perempuan itu pun menggendong bakul dan membawa gendi. Nampaknya ia membawa kiriman bagi mereka yang bekerja di sawah yang letaknya tidak di pinggir jalan panjang itu. Wijang dan Paksi pun tidak menghiraukan lagi. Mereka berjalan terus di panasnya sinar matahari. Ketika mereka sampai di simpangan, di luar sadarnya mereka berpaling memandang ke arah perempuan yang membawa kiriman itu berbelok. Namun keduanya terkejut. Wijang dengan cepat mendorong Paksi surut sehingga terlindung gerumbul perdu yang tumbuh di pinggir jalan itu. “Apa yang terjadi?” desis Paksi. “Marilah kita lihat,” sahut Wijang. Dengan hati-hati dilambari kemampuan mereka yang tinggi, Paksi dan Wijang bergerak di balik gerumbul-gerumbul perdu yang tumbuh di kiri kanan jalan kecil itu mendekati perempuan yang membawa kiriman itu. Perempuan itu berdiri termangu-mangu. Tiga orang laki-laki muda berdiri di hadapannya. Paksi semakin terkejut ketika seorang di antara laki-laki itu berkata, “Kau Kemuning, kan?” Paksi kemudian bergeser semakin mendekat. Dari sela-sela pohon perdu Paksi sempat melihat perempuan yang membawa bakul itu. Perempuan itu memang Kemuning. Wijang pun telah bersungut pula. Dengan isyarat Paksi memberitahukan, bahwa perempuan itu adalah Kemuning. Wijang mengangguk-angguk. Tetapi keduanya masih tetap bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul yang tumbuh di sebelah-menyebelah jalan sempit itu. “Siapakah kalian?” bertanya Kemuning. “Kau orang baru di Padukuhan Kembang Arum?” Kemuning mengangguk. “Nah, karena itu, aku memerlukan datang menemuimu?” berkata salah seorang dari mereka. “Kau bukan anak Kembang Arum,” berkata Kemuning. “Memang. Kami memang bukan anak muda dari Kembang Arum. Kami tinggal di Sawahan.” “Sawahan? Bukankah Padukuhan Sawahan itu agak jauh dari sini?” “Ya.” “Jadi untuk apa kalian menemuiku?” “Aku ingin memperkenalkan diri.” “Ah,” Kemuning termangu-mangu sejenak. “Kau datang jauh-jauh hanya untuk memperkenalkan diri?” “Ya. Selain itu, kami memang mempunyai sedikit keperluan.” “Apa?” “Seorang gadis dari Sawahan telah dilarikan oleh anak muda dari Kembang Arum.” “O. Apa hubungannya dengan aku?” “Aku ingin minta kau pergi ke Sawahan. Kau segera akan kami antar pulang setelah gadis Sawahan itu pulang.” “Kenapa aku?” bertanya Kemuning. Laki-laki itu tertawa. Katanya, “Aku memilih gadis yang paling cantik dari Kembang Arum.” “Tetapi aku orang baru disini. Aku tidak tahu-menahu tentang gadis Sawahan yang dilarikan itu.” “Sudahlah. Nanti kau akan mengetahui persoalannya. Sekarang aku minta dengan baik-baik kau ikut kami ke Sawahan.” Kemuning tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia meletakkan gendinya di tepi jalan. Kemudian bakul yang digendongnya itu pun diletakannya pula. Ketiga orang laki-laki muda yang menghentikan Kemuning itu menjadi heran. Bahkan Paksi dan Wijang pun menjadi tegang pula. “Ki Sanak,” berkata Kemuning, “aku mengatakan bahwa aku tidak tahu-menahu tentang gadis yang dilarikan itu. Karena itu, pergilah.” Ketiga orang itu menjadi heran, bahwa Kemuning nampaknya tetap tenang. Bahkan kemudian dengan nada berat ia berkata, “Pergilah. Jangan mengganggu aku.” Seorang di antara ketiga orang yang menghentikan itu berkata, “Jangan banyak bicara. Sekarang ikut kami ke Sawahan atau kami akan memaksamu.” “Sudah aku katakan, pergilah.” “Kami akan memaksamu,” geram salah seorang dari ketiga orang itu. Kemuning memandang ketiga orang itu berganti-ganti, seorang berwajah persegi. Giginya yang besar-besar tersembul dari sela-sela bibirnya yang tebal. Alisnya yang tebal hampir bertemu di atas hidungnya. Seorang lagi berwajah licin. Senyumnya selalu nampak di sela-sela bibirnya. Namun dari pandangan matanya yang liar. Kemuning menjadi ngeri. Sedangkan kawannya berwajah kasar. Sebuah bekas luka menggores di keningnya. Rambutnya tergerai dari bawah ikat kepalanya yang dipakainya sekenanya saja. Orang yang berwajah licin dengan senyum di bibirnya itu pun berkata, “Jangan takut, Kemuning. Kau tidak akan disakiti. Kau hanya akan disimpan di Sawahan sampai gadis yang dilarikan itu pulang. Aku akan menjagamu jika ada orang yang ingin mengganggumu. Percayalah kepadaku.” “Jangan ganggu aku,” berkata Kemuning lantang. “Sekarang pergilah. Atau aku akan memaksa kalian pergi.” Ketiga orang laki-laki muda itu saling berpandangan sejenak. Yang berwajah kasar itulah yang bertanya, “Kau mau apa?” Tetapi Kemuning tidak menjawab. Tangannyalah yang menyambar mulut orang itu. Orang yang berwajah kasar itu benar-benar terkejut. Selangkah ia bergerak mundur. “Kaulah yang telah menyakiti aku,” geram orang itu. “Sekali lagi aku minta, pergilah.” “Anak ini tidak dapat diajak berbicara dengan baik-baik,” berkata orang yang berwajah persegi. “Karena itu, maka kita harus memaksanya.” Senyum bibir orang yang berwajah licin itu tiba-tiba telah lenyap. Dengan nada tinggi ia berkata, “Lakukan apa yang kami katakan.” Tetapi Kemuning menjawab, “Kau yang harus melakukan apa yang aku katakan.” Ketiga laki-laki itu telah kehilangan kesabaran. Ketiganya pun segera meloncat mengepung Kemuning. Paksi hampir saja meloncat dari persembunyiannya. Namun Wijang telah menggamitnya, ia pun memberi isyarat agar Paksi menunggu. Yang terjadi memang mendebarkan jantung Paksi. Ketika ketiga orang itu berusaha menangkap Kemuning, maka tiba-tiba saja gadis itu melenting. Tangannya yang cepat menyambar dada seorang di antara mereka sehingga orang itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Kemuning tiba-tiba saja telah menyingsingkan kain panjangnya. Di bawah kain panjangnya, ternyata Kemuning mengenakan pakaian khusus. Celana berwarna gelap sampai sedikit di bawah lutut. Paksi memang menjadi berdebar-debar. Ternyata Kemuning adalah seorang gadis yang juga memiliki kemampuan olah kanuragan. Tetapi Paksi tidak tahu, apakah gadis itu memiliki kemampuan olah kanuragan sebelum ia berada di tangan Bahu Langlang atau sesudahnya. Apakah Ki Pananggungan yang kemudian telah melatih Kemuning dalam olah kanuragan. Jika demikian, maka Kemuning itu tentu masih berada pada tataran pemula. Dengan tegang Paksi ingin menyaksikan apa yang telah terjadi. Apakah Kemuning mampu melindungi dirinya atau tidak. Sementara itu, lorong kecil itu memang terkesan sepi. Sejenak kemudian Paksi menahan nafasnya. Ketiga orang laki-laki itu mulai mencoba menangkap Kemuning. Namun Kemuning itu pun segera meloncat dengan tangkasnya. Sambil memutar tubuhnya, kakinya terayun dengan cepat, mendatar menyambar dada salah seorang dari anak muda itu. Orang itu terdorong beberapa langkah surut. Ia tidak mengira bahwa Kemuning mampu bergerak setangkas itu. Namun kemudian orang itu pun telah menggeretakkan giginya. Kemarahannya telah membakar ubun-ubunnya. Sambil menggeram ia meloncat menerkam Kemuning dengan jari-jari tangannya yang mengembang. Tetapi Kemuning cukup tangkas. Ia bergeser ke samping. Ketika seorang yang lain mengayunkan tinjunya ke arah wajahnya, Kemuning merendahkan dirinya. Tangannya terjulur lurus, justru menyongsong tubuh lawannya. Dengan derasnya tangannya telah mengenai dada lawannya. Terdengar keluhan tertahan. Sementara Kemuning pun berkata, “Jika kalian tidak mau pergi, aku akan berteriak. Orang-orang yang bekerja di sawah dan mendengar teriakanku, akan segera berdatangan.” “Kau tidak akan sempat berteriak,” geram orang yang berwajah licin. “Kenapa tidak? Bukankah aku sempat berbicara panjang sekarang?” Ketika orang yang berwajah persegi menyerang dengan ayunan kakinya yang mendatar, Kemuning sempat menangkisnya. Dikibaskannya kaki itu menyamping, sehingga sama sekali tidak menyentuh tubuhnya. Ternyata ancaman Kemuning itu membuat orang berwajah kasar menjadi ragu-ragu. Ia tidak mengira bahwa kemuning sempat memberi perlawanan. Karena itu maka ia tidak menyerang lagi. “Aku memberi kesempatan pada kalian untuk yang terakhir kalinya. Kalian akan pergi atau tidak?” Orang yang berwajah kasar itu menggeram. Namun ia pun kemudian telah memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk meninggalkan tempat itu. Perhitungan orang-orang itu ternyata keliru. Kemuning sempat memberikan perlawanan. Ancamannya untuk berteriak memang membuat ketiga orang itu menjadi cemas. Mereka menduga, bahwa dengan serta-merta mereka dapat menangkap Kemuning sebelum ada orang yang mengetahuinya. Menyeretnya ke dalam semak-semak dan kemudian dengan ancaman membawanya pergi tanpa banyak kesulitan. Tetapi yang terjadi ternyata lain. Ketika ketiga orang itu kemudian bergeser menjauh, seorang di antara mereka sempat berkata, “Pada kesempatan lain kita akan bertemu lagi, Kemuning.” Kemuning tidak menjawab. Dipandanginya saja ketiga orang itu dengan tajamnya. Sejenak Kemuning berdiri termangu-mangu. Kemudian ia pun segera membenahi pakaiannya. Namun sebelum Kemuning memungut gendi dan bakulnya, ia mendengar semak-semak yang tersibak. Dua orang muncul dari balik gerumbul perdu di pinggir jalan. Dengan cepat Kemuning memutar tubuhnya dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun Kemuning itu pun mengerutkan dahinya. Diamatinya kedua orang itu dengan seksama. Dari sela-sela bibirnya kemudian terdengar Kemuning itu berdesis, “Kakang Paksi.” Paksi tersenyum. Katanya, “Kau masih mengenal aku Kemuning.” “Tentu, Kakang.” “Aku lihat bagaimana kau menakut-nakuti ketiga orang laki-laki itu.” “Ah.” “Ternyata kau memiliki kemampuan dalam olah kanuragan.” “Aku hanya mengancam mereka untuk berteriak jika mereka tidak mau pergi.” “Tetapi kau sudah mempunyai bekal untuk melindungi dirimu sekarang.” “Paman Pananggungan mengajari aku bagaimana aku harus membela diri.” “Bagus,” desis Paksi, “ternyata kemampuan itu berarti juga bagimu.” “Baru itu yang dapat aku lakukan. Sedikit meloncat dan bergeser.” “Tetapi peningkatan kemampuanmu terhitung cepat, Kemuning.” “Ah,” Kemuning tertunduk. Namun Paksi pun kemudian telah memperkenalkan Wijang. Dengan ragu Paksi itu pun berkata, “Aku datang kali ini bersama kakakku, Kemuning.” Kemuning mengangkat wajahnya. “Namanya Wijang.” Kemuning itu pun mengangguk hormat, sementara Wijang pun berkata, “Mudah-mudahan aku tidak terlalu menjemukan.” “Ah,” Kemuning justru tidak tahu apa yang harus dikatakan. Paksi lah yang kemudian bertanya, “Apakah kau akan pergi ke sawah?” “Ya, Kakang.” “Jika demikian, marilah. Kami ikut pergi ke sawah untuk menemui Paman Pananggungan.” Demikianlah, Paksi dan Wijang menemui Kemuning yang berjalan cepat ke kotak-kotak sawah yang terletak di pinggir parit induk, sehingga sawah itu tidak pernah kekurangan air di segala musim. “Paman tentu akan senang sekali,” berkata Kemuning sambil berjalan di depan. Di sepanjang jalan, Paksi ternyata lebih banyak berbicara dengan Kemuning, sehingga Wijang lebih banyak berdiam diri sambil berjalan di belakang. Sambil berjalan Paksi pun kemudian bertanya, “Apakah ayah dan ibumu sudah menyusulmu kemari?” “Ayah dan ibu tidak tahu bahwa aku ada disini.” “Tetapi jika mereka pulang dan mengetahui bahwa kau tidak ada di rumah, mereka tentu akan menyusul kemari.” “Belum tentu. Mungkin ayah dan ibu mencariku di tempat sanak kadang yang lain.” “O,” Paksi mengangguk-angguk, “kau masih mempunyai sanak kadang yang lain kecuali Paman Pananggungan.” “Menurut ayah dan ibu, masih ada beberapa orang sanak saudara kami. Ayah dan ibu pernah mengajak aku mengunjungi mereka. Pada umumnya mereka baik padaku.” “Tetapi kenapa kau justru datang kemari?” “Nampaknya Bibi merasa lebih dekat dengan Paman Pananggungan dari sanak kadang kami yang lain.” “Jika demikian, bukankah pada saat nanti ayah dan ibumu akan mencarimu kemari?” “Ya. Ayah dan ibu pada suatu saat tentu akan kemari.” Paksi mengangguk-angguk. Namun bahwa keduanya masih belum datang ke Kembang Arum adalah satu kebetulan bagi mereka berdua. Sambil menunjuk sebuah gubuk kecil yang didirikan di tepi parit induk di bawah sepasang pohon turi yang sedang berbunga, Kemuning berkata, “Di gubuk itu biasanya Paman beristirahat.” “Apakah Paman Pananggungan bekerja sendiri di sawah?” “Paman bekerja bersama dua orang pembantunya. Paman sendiri jarang pergi ke sawah ini. Paman justru lebih sering pergi ke pategalan.” “Kenapa?” “Bukankah di pategalan udaranya lebih sejuk. Terik matahari pun banyak yang tertahan oleh pepohonan yang tumbuh semakin besar. Paman menanam beberapa batang pohon buah-buahan di pategalan.” Paksi mengangguk-angguk. Namun ia pun berpaling ketika ia mendengar Wijang terbatuk-batuk. “Marilah. Kenapa kau berjalan lambat sekali?” Wijang pun mempercepat langkahnya. Katanya, “Seekor binatang kecil masuk ke kerongkongan.” “Apakah kau tidak dapat mengatupkan mulutmu?” “Aku sedang menguap.” “Marilah, jangan berjalan di belakang.” Wijang tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Sejenak kemudian, maka mereka pun telah mengambil jalan pintas meniti pematang langsung menuju ke gubuk kecil di bawah sepasang pohon turi itu. Ki Pananggungan memang sudah menunggu di dalam gubuknya bersama dua orang yang membantunya bekerja di sawah. Ketika ia melihat Kemuning berjalan bersama dua orang laki-laki, dahinya telah berkerut. Namun semakin dekat, Ki Pananggungan pun mulai mengenali salah seorang dari kedua orang laki-laki itu. Karena itu, maka ia pun segera meloncat turun dari gubuknya, menyongsong Kemuning bersama kedua orang yang datang bersamanya. “Kau, Ngger,” sapa Ki Pananggungan. “Ya, Paman.” “Marilah, duduk berdesakan di dalam gubuk kecil ini.” Kedua orang yang membantu Ki Pananggungan itulah yang mengalah. Mereka turun dari gubuk itu dan melangkah beberapa langkah menjauh. Mereka pun kemudian duduk di bawah pohon turi yang berdaun rimbun itu. Dalam pada itu, Paksi dan Wijang pun telah duduk di gubuk itu pula. Ketika Kemuning meletakkan bakulnya, maka pamannya itu pun berkata, “Biarlah kedua orang itu minum dan makan lebih dahulu. Matahari telah sampai ke puncak. Agaknya mereka telah merasa haus dan lapar. Mereka sudah bekerja sejak matahari terbit.” Kemuning pun kemudian beringsut turun. Tetapi ia masih berceritera tentang tiga orang yang mencoba mengganggunya di jalan. “Siapakah mereka itu?” bertanya Ki Pananggungan. “Apakah kau belum pernah melihat mereka? Agaknya mereka bukan anak muda dari Kembang Arum.” “Memang bukan, Paman. Menurut keterangan mereka sendiri, mereka adalah orang Sawahan.” “Tentu juga bukan orang Sawahan. Mereka hanya ingin menyembunyikan jejak mereka.” “Aku juga menduga begitu, Paman.” “Untunglah bahwa Angger Paksi telah menolongmu lagi.” Paksi lah yang menyahut, “Bukan aku, Paman. Kali ini Kemuning telah membebaskan dirinya sendiri. Ternyata ia sudah memiliki kemampuan untuk menghadapi anak-anak muda yang tidak bertanggung jawab itu.” “Ah, apa yang dapat ia lakukan?” “Aku mengancam mereka untuk berteriak jika mereka tidak pergi,” berkata Kemuning. Ki Pananggungan tertawa. Katanya, “Satu jenis ilmu yang ternyata mampu mengusir anak-anak muda itu.” Yang lain pun tertawa pula. Kemuning juga tersenyum sambil melangkah mendekati kedua orang yang duduk di bawah pohon turi itu. “Biarlah aku menunggu, Ki Pananggungan,” berkata salah seorang dari mereka. “Makanlah dahulu,” sahut Ki Pananggungan. “Aku baru menemui tamu-tamuku.” Kedua orang itu tidak menjawab. Bahkan Kemuning telah meletakkan bakulnya di atas pematang. Sementara itu, Paksi pun telah memperkenalkan Wijang kepada Ki Pananggungan. Dengan nada rendah Paksi berkata, “Kakakku ini bernama Wijang, Paman.” Tetapi baik Paksi mau pun Wijang terkejut bukan buatan. Ki Pananggungan itu pun membungkuk hormat sambil berdesis, “Ampun, Pangeran. Aku tidak dapat menyambut kedatangan Pangeran dengan sepantasnya.” Paksi dan Wijang itu menjadi tegang. Lebih-lebih lagi Paksi merasa bertanggung-jawab. Ialah yang mengajak Wijang pergi ke Padukuhan Kembang Arum. Tetapi ia tidak menduga sama sekali, bahwa Ki Pananggungan itu dapat mengenali Pangeran Benawa. “Paman,” berkata Paksi dengan gagap, “dari mana Paman mengenali bahwa yang datang bersamaku ini adalah seorang pangeran?” “Aku pernah berada di istana Pajang, Ngger,” jawab Ki Pananggungan. “Aku pernah melihat Pangeran beberapa kali. Dan siapakah yang belum pernah mengenal Pangeran Benawa?” “Baiklah, Paman,” berkata Pangeran Benawa kemudian. “Aku tidak akan ingkar. Tetapi sebaiknya aku mohon Paman melindungi keberadaanku di tempat ini.” “Aku mengerti, Pangeran. Itulah sebabnya aku minta Kemuning membawa kirimannya kepada kedua orang yang membantuku bekerja di sawah ini. Aku berharap bahwa mereka tidak mendengar pembicaraan kita disini.” Paksi pun kemudian berkata, “Paman. Sebaiknya kami berterus-terang. Pangeran Benawa sedang berada dalam penyamaran. Ia ingin mengembara untuk dapat menyaksikan kehidupan yang nyata dari rakyatnya. Bukan sekedar laporan dari para pemegang pemerintahan di segala tataran, bahwa semuanya berjalan dengan baik.” “Aku berjanji untuk tidak membuka rahasia ini.” “Apalagi para pemimpin dari beberapa perguruan sedang memburunya. Bahkan mungkin juga termasuk Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung.” “Kau sudah bertemu dengan mereka?” bertanya Ki Pananggungan. “Tidak secara langsung, Paman.” Ki Pananggungan menarik nafas panjang. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Kau belum mengatakan kepada Kemuning?” “Tidak, Paman. Kami tidak mengatakannya.” Ki Pananggungan menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Paksi pun berceritera tentang kedua orang tua angkat Kemuning itu, namun yang dianggapnya sebagai orang tuanya sendiri. “Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati sedang mencari Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung. Mereka menduga bahwa Pangeran Benawa ada di tangan Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung.” Ki Pananggungan itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Siapa yang dapat menahan Pangeran Benawa yang memiliki ilmu tidak terbatas itu.” “Ah, Paman terlalu berlebihan.” “Aku berkata sebenarnya, Pangeran. Hanya Kangjeng Sultan dan Raden Sutawijaya sajalah yang dapat menyamai tataran ilmunya. Mungkin Ki Gede Pemanahan dan Ki Panjawi.” “Tentu tidak, Paman. Ilmuku belum seberapa. Masih belum lebih tinggi dari ilmu Paksi.” “Pangeran tentu merendah. Maksudku, hanya beberapa orang sajalah yang mampu mengimbangi kemampuan Pangeran. Memang mungkin ada orang-orang berilmu tinggi yang tersembunyi. Tetapi sebenarnyalah bahwa ilmu Pangeran Benawa hampir tidak bercela.” “Paman akan kecewa jika Paman melihat kenyataanku yang tidak lebih baik dari Paksi. Tetapi sudahlah, kita akan berbicara tentang sawah Paman yang subur ini,” berkata Pangeran Benawa kemudian. “Ya, Pangeran. Namun satu hal yang ingin aku katakan, bahwa keberadaan Pangeran di luar istana, serta kabar tentang hilangnya cincin kerajaan yang bermata tiga butir itu, menjadi jelas bagiku sekarang. Sebenarnyalah Pangeran harus berhati-hati membawakan diri. Apalagi beberapa orang telah mencari Pangeran, yang tentu dihubungkan dengan cincin yang tidak ada di bangsal pusaka itu.” Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya memang begitu, Paman. Terima kasih atas peringatan Paman.” Sementara itu, Paksi pun berkata, “Dalam pengembaraan ini, silahkan Paman memanggilnya Wijang.” “Wijang.” Ki Pananggungan mengangguk-angguk. “Baiklah. Aku akan memanggil Pangeran, Angger Wijang.” Pembicaraan mereka pun terhenti sejenak. Kemuning telah membenahi mangkuk yang dipergunakan oleh kedua orang yang membantu Ki Pananggungan bekerja di sawah. Kemuning itu pun kemudian bangkit berdiri dan melangkah mendekati gubuk itu sambil bertanya, “Bagaimana dengan Paman?” “Aku akan pulang saja Kemuning. Aku akan makan di rumah bersama Angger Wijang dan Angger Paksi.” Dengan demikian, maka Kemuning pun segera memasukkan isi bakulnya kembali. Tetapi salah seorang dari kedua orang yang membantu bekerja di sawah pamannya itu berkata, “Tinggalkan saja gendinya, Nduk.” “Baik, Paman,” jawab Kemuning, “tetapi jangan lupa, nanti bawa gendinya pulang.” Kedua orang itu tersenyum. Salah seorang dari mereka menjawab, “Jika aku lupa, besok kau tidak usah mengirim minuman kemari.” “Jika bukan aku yang pergi ke sawah?” “Siapa pun yang pergi.” “Tanpa gendi dan tanpa bakul?” “Ah. Nanti kami tidak kuat mengangkat cangkul setelah matahari sampai di puncak.” Kemuning pun tertawa pula. Namun kemudian ia minta diri, “Sudah, Paman. Aku akan pulang bersama Paman Pananggungan serta kedua orang tamu itu.” “He, siapakah tamunya, Nduk? Tamu Ki Pananggungan atau tamumu?” Kemuning mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun menjawab, “Tentu tamu Paman Pananggungan.” Kedua orang itu tertawa. Tetapi mereka tidak bertanya lagi. Demikianlah, maka Ki Pananggungan bersama Kemuning dan kedua orang tamunya telah meninggalkan gubuk kecil itu menuju ke Padukuhan Kembang Arum. Ketika mereka sampai di rumah Ki Pananggungan, maka Paksi pun telah disambut dengan gembira oleh Nyi Pananggungan dan Nyi Permati. Bersama Wijang, maka Paksi pun telah dipersilahkan untuk duduk di pringgitan. Namun kepada Nyi Pananggungan, suaminya menyebut tamunya yang seorang lagi sebagai kakak Paksi yang bernama Wijang. Kemuning yang kemudian pergi ke dapur telah memberitahukan kepada Nyi Pananggungan bahwa Ki Pananggungan masih belum makan di sawah. Pamannya itu ingin makan di rumah bersama kedua orang tamunya. Nyi Pananggungan pun kemudian menjadi sibuk mempersiapkan makan bagi suaminya dan kedua orang tamunya dibantu oleh Kemuning. Sementara itu Nyi Pananggungan minta agar Nyi Permati ikut menemui tamunya di pringgitan. “Aku menyempatkan diri untuk singgah,” berkata Paksi kepada Nyi Permati yang menemuinya bersama Ki Pananggungan. “Kami senang sekali menerima kunjungan Angger berdua,” berkata Nyi Permati. “Aku kira, Bibi sudah tidak ada disini.” “Kemana?” “Aku kira ayah dan ibu Kemuning sudah menyusul kemari.” “Mereka tidak tahu bahwa aku dan Kemuning berada disini.” “Tetapi jika mereka mencari, pada suatu hari tentu akan datang kemari.” Nyi Permati mengangguk. Namun kemudian ia berdesis, “Aku berdoa, mudah-mudahan keduanya tidak mencari Kemuning. Aku berharap agar keduanya mengembara saja tanpa pernah pulang.” “Tetapi bukankah mereka mencintai Kemuning?” Paksi tidak bertanya lagi. Sementara minuman pun telah dihidangkan. Minuman yang masih mengepulkan asap putih yang tipis. “Marilah, Ngger. Silahkan minum mumpung masih hangat,” Ki Pananggungan pun mempersilahkan. Paksi dan Wijang pun telah mengangkat mangkuknya dan menghirup minumannya yang membuat keringat mereka semakin banyak membasahi pakaian mereka. Sementara itu, maka Kemuning pun telah menghidangkan nasi dan lauk-pauknya pula. Meskipun mereka mempersiapkan makan siang itu dengan sedikit tergesa-gesa, namun bagi Paksi dan Wijang, hidangan itu sudah lebih dari cukup. Nyi Permati pun kemudian mempersilahkan mereka makan, sementara Nyi Permati telah meninggalkan mereka masuk ke ruang dalam. Sambil makan Ki Pananggungan pun berkata, “Nyi Permati berharap bahwa kedua orang tua angkat Kemuning itu tidak datang untuk mengambil Kemuning.” “Tetapi bukankah mereka bersikap baik di rumah? Mereka mengajari Kemuning melakukan hal-hal yang baik dan berarti?” “Tetapi pada suatu saat, akhirnya Kemuning akan mengetahui juga.” “Mengetahui bahwa ia bukan anak kandung kedua orang yang dianggap orang tua sendiri itu?” “Bukan itu. Akhirnya Kemuning akan tahu, apa yang sering dikerjakan oleh kedua orang tua angkatnya. Dengan demikian, maka hati gadis itu pada suatu saat akan hancur.” Paksi dan Wijang mengangguk-angguk. Tetapi agaknya sulit bagi Kemuning melepaskan diri dari kedua orang yang sudah dianggap orang tuanya sendiri itu. Nyi Permati agak terlambat menyadari keadaan Kemuning serta hari depannya. “Bagaimana dengan Ki Pananggungan sendiri?” bertanya Paksi. “Bagiku, aku sama sekali tidak berkeberatan jika Kemuning tetap berada disini. Tetapi agaknya keberadaannya disini juga menimbulkan persoalan seperti yang baru saja terjadi tadi ketika Kemuning pergi ke sawah.” “Apakah itu akan menjadi persoalan yang berkepanjangan?” “Mudah-mudahan tidak. Tetapi jarang gadis-gadis padukuhan mempunyai keberanian seperti Kemuning.” “Apa salahnya,” desis Paksi. “Ia akan dapat menarik perhatian banyak orang. Tetapi aku tidak akan berhenti. Aku ingin Kemuning memiliki kemampuan yang akan dapat menjadi pelindung bagi dirinya sendiri.” Paksi mengangguk-angguk. Ketika ia memandang Wijang, maka Wijang masih sibuk menyuapi mulutnya. Sekali-sekali ia berdesis kepedasan. Tetapi ia masih saja mengambil sambal terasi. Paksi tersenyum melihat bibir Wijang yang merah. Tetapi Wijang memang senang sekali makan sambal. Sementara itu Ki Pananggungan pun berkata, “Aku berharap kau tidak tergesa-gesa meninggalkan tempat ini. Juga kepada Pangeran Benawa aku mohon untuk bersedia tinggal disini untuk beberapa hari.” Wijang mengusap bibirnya yang terasa agak panas. Sekilas ia memandang Paksi yang sedang mengunyah makanannya. Paksi sengaja membiarkan Wijang menjawab lebih dahulu. Setelah meneguk minumannya, maka Wijang itu pun berkata, “Sebenarnya aku tidak berkeberatan, Paman. Kami berdua memang pengembara yang tidak mempunyai tujuan tertentu, sehingga karena itu, kami sama sekali tidak terikat oleh waktu. Tetapi jika Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung datang ke tempat ini, maka suasananya akan dapat berubah.” “Tetapi bukankah keduanya belum mengenal kalian?” “Memang belum, Paman. Tetapi jika mereka mulai memperhatikan kami, maka kemungkinan buruk dapat terjadi.” Ki Pananggungan menarik nafas panjang. Katanya, “Tetapi bukankah keduanya belum pasti akan datang kemari? Seandainya mereka datang kemari, maka demikian mereka datang, kalian berdua dapat meninggalkan tempat ini sebelum terjadi benturan-benturan yang tidak kita kehendaki.” Wijang memandang Paksi sejenak. Katanya, “Terserah kepada Paksi.” Paksi mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun berkata, “Bagaimana pendapatmu, jika kita tinggal disini barang dua tiga hari?” Wijang tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku tidak berkeberatan. Tetapi aku harap kau selalu ingat, bahwa banyak orang yang kemudian memburu Pangeran Benawa. Agaknya sikap Harya Wisaka itu menimbulkan gejolak baru bagi para pemimpin perguruan yang terlalu bernafsu untuk memiliki masa depan yang terbaik itu.” Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Maksudmu, tentu Repak Rembulung dan Pupus Rembulung juga sudah mendengar bahwa Harya Wisaka sedang memburu Pangeran Benawa.” “Ya,” jawab Wijang. “Baiklah. Aku tidak akan pernah melupakannya.” “Mudah-mudahan penyamaran Pangeran tidak akan dapat dikenal orang.” “Beberapa orang yang mengenal aku dengan baik berada di pihak Paman Harya Wisaka.” Ki Pananggungan mengangguk-angguk kecil. Sekilas Wijang telah menceriterakan sikap Harya Wisaka yang sedang memburu Pangeran Benawa. “Tetapi apa artinya Harya Wisaka bagi Pangeran Benawa.” “Paman Harya Wisaka tidak sendiri. Ia agaknya telah menguasai sekelompok prajurit pilihan serta prajurit sandi.” “Siapakah yang telah membantu Harya Wisaka itu, Pangeran?” Wijang memang menjadi ragu ragu. Namun kemudian ia pun berdesis, “Yang aku ketahui langsung adalah Ki Rangga Suraniti dan Ki Nukilan.” Ki Pananggungan terkejut mendengar nama itu. Di luar sadarnya ia pun bertanya, “Apakah Pangeran tidak keliru?” “Tidak, Paman. Aku dan Paksi melihat langsung. Tidak hanya sekali. Tetapi beberapa kali. Bahkan Paksi pernah dibelikan dawet cendol di pasar.” Ki Pananggungan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku mengenal Ki Rangga Suraniti. Sebenarnyalah Pangeran, aku pernah menjadi seorang prajurit di Pajang. Tetapi justru setelah Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar itu bersama ayahandanya, Ki Gede Pemanahan serta Ki Penjawi, menewaskan Harya Penangsang, aku mengundurkan diri. Meskipun demikian, aku masih sering pergi ke istana. Aku masih akrab dengan beberapa orang prajurit, termasuk Ki Rangga Suraniti. Meskipun aku sudah bukan prajurit, tetapi aku masih sering membantu tugas-tugas sandi. Baru pada saat-saat terakhir ini aku benar-benar ingin beristirahat dan berada di lingkungan keluargaku.” Ki Pananggungan berhenti sejenak. Namun kemudian ia pun melanjutkannya, “Menurut pendapatku, Ki Rangga Suraniti adalah seorang prajurit yang baik. Ia sudah menunjukkan pengabdian yang besar bagi Pajang.” “Sikap seseorang dapat saja berubah, Paman. Tetapi semula aku juga tidak percaya, bahwa Ki Rangga Suraniti bekerja bersama dengan Paman Harya Wisaka memburu Pangeran Benawa.” “Kenapa Pangeran tidak kembali saja ke istana? Bukankah pengembaraan Pangeran dapat dilanjutkan pada kesempatan lain, setelah Pangeran membuat penyelesaian dengan Harya Wisaka?” “Aku tidak tahu, apakah jika hal itu aku sampaikan kepada ayahanda dan para pemimpin di Pajang, mereka dapat mempercayainya. Sementara itu, aku tahu benar, bahwa Paman Harya Wisaka adalah seorang yang licik.” Ki Pananggungan termangu-mangu sejenak. Katanya, “Apakah Ki Rangga Suraniti tidak dapat mengenali Pangeran?” “Aku selalu menghindar, Paman. Ki Rangga Suraniti belum pernah melihat aku berkeliaran di sisi selatan kaki Gunung Merapi ini.” “Satu keterangan yang sangat menarik, bahwa Ki Rangga Suraniti terlibat dalam usaha Harya Wisaka. Aku sendiri belum mengenal Harya Wisaka dengan baik. Tetapi aku mengerti, bahwa Harya Wisaka memang seorang yang keras hati. Jika pada tempatnya, keras hati dapat berarti sikap yang baik. Tetapi jika mengetrapkannya keliru, akibatnya seperti tingkah-laku Harya Wisaka itu.”
KamenRider (仮面ライダー, Kamen Raidā), bahasa Indonesia: Pengendara Bertopeng, atau juga dikenal di Indonesia sebagai Ksatria Baja Hitam, adalah seri tokusatsu dan manga fiksi sains yang diciptakan oleh Shotaro Ishinomori.Seri tokusatsu ini pertama kali ditayangkan mulai tanggal 3 April 1971 sampai 10 Februari 1973 sebanyak 98 episode di Mainichi Broadcasting System dan NET TV
Excellent36Very good38Average13Poor2Terrible7FamiliesCouplesSoloBusinessFriendsMar-MayJun-AugSep-NovDec-FebAll languagesEnglish 96French 130Portuguese 14More languages See what travellers are sayingSort by Detailed Reviews Reviews order informed by descriptiveness of user-identified themes such as cleanliness, atmosphere, general tips and location July 9, 2022 The food was great, service was a touch slow and it was a bit pricey for breakfast. Overall, it was still good. It was definitely convenient being in our hotel and we were checking out to continue our road trip, I would recommend of visit June 2022Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn November 11, 2021 The Bennies and Frittata were very well prepared and very tasty. The service was very good and so handy to have this right in the hotel,Date of visit November 2021Helpful?1 This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn October 30, 2021 Convenient as it’s in the hotel we stayed. A little pricey for breakfast but was very good. Nice portions. Fruit served with breakfast was very good. Coffee just under $3 and it’s ok. Service was greatDate of visit October 2021Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn October 23, 2021 We had drinks one night and breakfast the next morning. Both were OK though the staff late afternoon preferred speaking among themselves than take care of customers. The morning staff was much better and friendlier. Breakfast was nothing of visit October 2021Helpful?1 This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn July 31, 2020 via mobile Very tasty food and dessert, good service, clean , were making sure covid rules are applied . Highly recommendedDate of visit July 2020Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn November 11, 2019 via mobile I've been coming here with colleagues for lunch at least twice a months forma year. Its consistently great with varied lunch specials. Always a great experience and the staff is of visit November 2019Helpful?1 This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn November 2, 2019 We had the a la carte breakfast with eggs Benedict which were among the best we've ever had. Excellent homemade jam with the croissants and very efficient and friendsly of visit October 2019Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn October 14, 2019 We had to wait until 4pm to check in to the hotel, so dropped our bags and popped in here for a pit stop. We were happily surprised and pleased with brunch, so we came back again for a light dinner. Both meals very good,...as well as great service. Definitely a great place to relax and catch of visit October 2019Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn October 4, 2019 The variety of different foods was great. The muffins were great. All around great breakfast. And located at our of visit September 2019Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn October 1, 2019 We had Pasta al dente and Pizza which was just great. Not the pizza as to find at Pizza hat - a real Italian pizza providing the small dough, just as it should be. Great and kind of visit September 2019Helpful?2 This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn September 22, 2019 Seems like you wait for a table at breakfast time whether it is busy or not as the restaurant is understaffed- the lady who seats you is the one clearing off and cleaning the tables to get it ready for you! However, once you are...seated, the waitresses/waiters are friendly and helpful. You can definitely split some of the breakfast entrees between 2 people if you add some toast. I also had take out breakfast- coffee and a bagel for $ ordering it was not the easiest as you waited in line along with those patrons waiting to get to the restaurant. Again, however, once it's your turn the staff was friendly and of visit September 2019Helpful?2 This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn September 8, 2019 while on family trip to Quebec city, we ate breakfast at this restaurant. It was very crowded in the morning, there was a 20 minute waiting line. The staff was very helpful and polite. The breakfast options went from the classic 2 eggs, potatoes plate...to the more healthy options like granola and fruit. Complementary coffee is offered but the taste is so so. They have a buffet type breakfast available before 9am, but if you go "a la carte" expect to spend between 15 to 20$.MoreDate of visit August 2019Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn September 3, 2019 This restaurant located next to the lobby of Le Concorde hotel is very convenient for breakfast. The food is OK, service was kind of slow because of the large number of of visit August 2019Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn September 2, 2019 Adequate menu choice, food was full of flavour and average portion sizes. The waitress was very friendly and made us feel welcome. Lovely setting and quiet restaurant, very calm of visit August 2019Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn September 1, 2019 Loved this restaurant for breakfast and to stop for a mid afternoon drink. Sat outside and the view over the plains was lovely. Great service and excellent food with lots of breakfast choices. Highly recommended!Date of visit August 2019Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn more reviews
LaguAyah dari Seventeen ini membuat hati haru sekaligus membuat hatiku yang sedang rindu pada ayah semakin rindu. Iyalah bocorannya nih admin jejak maya sedang rindu berat dengan sosok lelaki hebat dalam hidup ini, dia adalah ayah. Semoga ayahanda bahagia di alam sana aamiin ya Robbal'allamiin.. Sangat banyak lagu-lagu yang sengaja diciptakan oleh pengarang atau pencipta lagu khusus buat para
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Begitu dalam kesetiaan para pengikut Harya Wisaka, sehingga seorang yang berilmu tinggi seperti Ki Santen Ireng itu tidak dapat membuat pertimbangan-pertimbangan lain kecuali berjuang untuk menempatkan Harya Wisaka pada kedudukan yang tertinggi, apa pun yang harus dikorbankannya. “Tetapi jika hal itu dilakukan oleh Ki Santen Ireng, tentu bukannya tanpa pamrih apa-apa” berkata Raden Sutawijaya di dalam hatinya. Namun Raden Sutawijaya tidak menjawab lagi. Sambil bergeser ke samping, Raden Sutawijaya telah bersiap sepenuhnya untuk bertempur melawan Ki Santen Ireng. Ki Santen Ireng pun tidak berbicara lagi. Ia pun segera meloncat menerkam Raden Sutawijaya. Jari-jari pada kedua tangannya yang mengembang menyambar ke arah wajahnya. Raden Sutawijaya dengan cepat menghindar. Hampir di luar sadarnya ia pun berdesis, “Kau mengenakan kuku-kuku baja itu, Ki Santen Ireng. Juga kau lapisi telapak tanganmu” “Kau dapat melihatnya?” “Tentu. Anak-anak pun dapat membedakan antara kuku aslimu dan kuku-kuku baja itu. Bahkan telapak tanganmu” Ki Santen Ireng tidak menjawab. Tetapi serangan-serangannya menjadi semakin cepat. Tangannya dengan jari-jari yang mengembang menyambar-nyambar menggapai tubuh Raden Sutawijaya. Tetapi di tangan Raden Sutawijaya telah tergenggam tombak pendek. Meskipun senjata itu bukan senjata khusus, tetapi tombak itu menjadi sangat berbahaya di tangan Sutawijaya. “Raden” desis Ki Santen Ireng kemudian, “aku tahu, bahwa kau bunuh Harya Penangsang dengan ujung tombak. Tetapi tentu bukan tombak mainan seperti yang kau pakai sekarang ini. Yang kau pakai untuk membunuh Harya Penangsang adalah tombak berlandean panjang. Tombak pusaka terbaik di Pajang, Kangjeng Kiai Pleret” Tetapi Raden Sutawijaya itu menjawab, “Meskipun tombakku sekarang tombak mainan, Ki Santen Ireng, tetapi ujungnya akan dapat mengoyak dadamu, menembus sampai ke jantung. Di tanganku, mainan kanak-kanak pun akan dapat menjadi sangat berbahaya bagimu dan bagi semua lawan-lawanku” Ki Santen Ireng tertawa berkepanjangan. Namun tiba-tiba saja suara tertawanya terhenti. Dengan tangkasnya ia meloncat mengambil jarak. Hampir saja ujung tombak pendek Raden Sutawijaya menyentuh lengannya. “Kau memang tangkas bermain tombak, Raden” Raden Sutawijaya tidak menjawab. Tombaknya terjulur lagi mengarah ke dada, sehingga Ki Santen Ireng harus meloncat mundur lagi beberapa langkah. Namun Raden Sutawijaya tetap memburunya. Ujung tombaknya semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin dekat dengan kulit Ki Santen Ireng. Dengan telapak tangan yang dilapisi baja hitam serta kukunya yang tajam kehitam-hitaman, Ki Santen Ireng berusaha melawan tombak pendek Raden Sutawijaya. Ditepisnya tombak yang terjulur itu. Bahkan dengan baja hitam di telapak tangannya, Ki Santen Ireng telah menangkis ujung tombak yang mematuknya. Tetapi ternyata bahwa Raden Sutawijaya memiliki kemampuan yang tinggi, sebagaimana namanya yang mendebarkan. Semakin lama maka Ki Santen Ireng itu harus mengakui kenyataan, bahwa Raden Sutawijaya yang masih terhitung muda itu benar-benar seorang berilmu tinggi. Dengan demikian, maka Ki Santen Ireng itu pun menjadi semakin terdesak. Ia tidak lagi dapat mengandalkan lapisan baja hitam di telapak tangannya, serta kuku-kuku bajanya. Karena itu, untuk melawan ujung tombak pendek yang seakan-akan mempunyai mata dan memburunya kemana saja ia berloncatan, Ki Santen Ireng harus mempergunakan senjatanya yang lain. Dengan demikian, maka Ki Santen Ireng telah meloncat mengambil jarak. Dilepasnya lapisan baja di telapak tangan serta kuku-kuku baja di jari-jari tangan kanannya. Kemudian dicabutnya sebuah luwuk yang besar dan panjang. Raden Sutawijaya yang melangkah satu-satu mendekatinya sambil merundukkan ujung tombaknya tertegun. “Aku tidak lagi main-main, Raden” geram Ki Santen Ireng. “Jadi selama ini kau hanya main-main?” “Ya. Sekarang aku bersungguh-sungguh dengan luwuk peninggalan guruku ini” Raden Sutawijaya memandangi luwuk di tangan Ki Santen Ireng. Nampaknya pamornya berkeredipan ditimpa cahaya matahari. Luwuk itu memang luwuk yang sangat baik. “Tetapi segala sesuatu akan tergantung pada orang yang mempergunakannya” berkata Raden Sutawijaya di dalam hatinya. “Bukan sebaliknya” Sejenak kemudian, maka keduanya telah terlibat lagi dalam pertempuran yang sengit. Disamping harus memperhatikan luwuk di tangan Ki Santen Ireng, Raden Sutawijaya masih juga harus memperhatikan tangan kirinya, yang masih mengenakan lapisan baja hitam di telapak tangannya, serta kuku-kuku baja di ujung jari-jarinya. Sementara itu, pertempuran pun menjadi semakin sengit. Pasukan Ki Tumenggung Yudatama telah mendesak para pengikut Harya Wisaka. Apalagi setelah Ki Santen Ireng terikat dalam pertempuran melawan Raden Sutawijaya. Sementara itu, Pangeran Benawa dan Paksi telah memasuki padukuhan dari sisi yang lain, bersama para prajurit yang ada di arah lain dari Padukuhan Pandean itu. Meskipun mereka mendapat perlawanan dari para pengikut Harya Wisaka, tetapi para pengikut Harya Wisaka itu tidak mampu menghentikan gerak maju Pangeran Benawa, Paksi dan para prajurit. Di dalam Padukuhan Pandean, Pangeran Benawa dan Paksi pun segera berusaha menemukan Harya Wisaka yang mereka yakini masih berada di padukuhan itu. Sementara itu, Harya Wisaka sendiri, bersama para pengawalnya yang kuat telah siap untuk keluar dari padukuhan di arah selatan. Mereka siap untuk menembus kepungan yang tidak terlalu kuat di sisi selatan. Bahkan mereka pun telah bersiap menghalau prajurit Pajang yang berusaha menyumbat pintu gerbang di arah selatan itu. Raden Suminar dengan orang-orang terpilih telah merintis jalan, menyibak pasukan Pajang yang berusaha menyumbat pintu gerbang. Dengan kemampuannya yang tinggi, Raden Suminar bersama para pengikut Harya Wisaka telah berhasil mendesak pasukan Pajang yang berusaha menahan mereka untuk tetap berada di dalam padukuhan. Tetapi para pengikut Harya Wisaka itu terkejut. Selagi mereka berusaha membuka jalan serta siap untuk keluar dari padukuhan, maka mereka telah mendapat serangan dari belakang. Pangeran Benawa dan Paksi yang berhasil menyusup memasuki padukuhan itu telah berhasil mengguncang para pengikut Harya Wisaka yang akan menyertainya keluar dari padukuhan dan menembus kepungan yang lemah di sisi selatan. “Gila” geram Gadungbawuk, “siapakah mereka itu?” “Prajurit Pajang” berkata salah seorang penghubung yang memberikan laporan kepada Harya Wisaka. “Siapakah pemimpinnya?” bertanya Harya Wisaka. “Pangeran Benawa” “Pangeran Benawa?” suara Harya Wisaka meninggi. “Jangan cemas, Ngger” desis Kiai Gadungbawuk. “Aku akan menghentikannya” Tetapi penghubung itu berkata pula, “Bersama Pangeran Benawa adalah seorang anak muda yang berilmu tinggi” “Siapa?” bertanya Harya Wisaka. “Aku tidak tahu namanya” jawab penghubung itu. “Raden Sutawijaya?” bertanya Harya Wisaka. “Bukan” “Tentu Paksi” geram Harya Wisaka. Ki Madujae lah yang menyahut, “Jadi ada gunanya pula aku pergi bersama Harya Wisaka. Biarlah aku menghentikan anak itu. Sebaiknya Harya Wisaka melanjutkan rencana memecah kepungan di sisi yang paling lemah. Apalagi sebagian dari mereka sudah berada di sisi. Biarlah Raden Suminar menjadi ujung tombak kelompok yang akan mengantar Harya Wisaka” “Baiklah, Ki Madujae” sahut Raden Suminar. “Percayalah, bahwa aku dapat menghancurkan pasukan yang akan menahan gerak kami” Demikianlah, maka Raden Suminar dan beberapa orang kepercayaannya telah menembus perlawanan para prajurit Pajang. Mereka berhasil keluar dari pintu gerbang padukuhan. Dengan garangnya Raden Suminar yang berilmu tinggi itu menyibak jalan dengan ujung pedangnya. Sementara itu beberapa orang yang menyertainya bertempur dengan garangnya seperti sekelompok serigala yang sedang lapar. Dalam pada itu, Pangeran Benawa dan Paksi yang berusaha untuk dapat menangkap Harya Wisaka di dalam padukuhan telah bertempur dengan sengitnya. Mereka berusaha untuk dapat menembus pertahanan para pengikut Harya Wisaka yang bertempur tanpa mengenal surut. Mereka benar-benar siap untuk mengorbankan apa saja yang mereka miliki, termasuk tubuh dan nyawa mereka. “Orang-orang itu benar-benar kehilangan pribadi mereka” berkata Paksi di dalam hatinya. “Jika aku tidak berhasil menemukan adikku, maka ia akan menjadi seperti orang-orang itu” Gerak maju Pangeran Benawa pun terhambat ketika seorang tiba-tiba menghadangnya. “Bukankah aku berhadapan dengan Pangeran Benawa?” berkata Ki Gadungbawuk. Pangeran Benawa memandang orang itu dengan tajamnya. Dengan nada datar ia pun menjawab, “Ya. Aku adalah Benawa” “Apakah Pangeran sedang memburu Harya Wisaka?” “Ya. Aku memang sedang memburu Paman Harya Wisaka. Paman adalah buruan yang harus ditangkap” “Kenapa Harya Wisaka harus ditangkap?” “Aku tidak mempunyai waktu untuk menjawab pertanyaan seperti itu. Minggirlah. Jangan korbanku dirimu untuk melindungi Paman Harya Wisaka” Tetapi Ki Gadungbawuk tertawa. Katanya, “Siapakah yang akan mengorbankan dirinya? Aku akan bertempur dengan sungguh-sungguh. Siapa yang menghalangi aku, akan aku singkirkan” Ki Gadungbawuk masih akan mengulur waktu untuk memberi kesempatan Harya Wisaka meninggalkan padukuhan. Karena itu, maka ia pun berkata selanjutnya, “Karena itu, aku mohon Pangeran mengurungkan niat Pangeran untuk menangkap Harya Wisaka” Pangeran Benawa sadar, bahwa orang itu sengaja mengulur waktu. Karena itu, maka Pangeran Benawa tidak berbicara lagi. Dengan tombak pendeknya Pangeran Benawa pun segera menyerang Ki Gadungbawuk. Tetapi Ki Gadungbawuk sudah bersiap sepenuhnya. Karena itu, ketika ujung tombak Pangeran Benawa mematuknya, Ki Gadungbawuk pun bergeser ke samping. Namun ujung tombak Pangeran Benawa itu pun berputar. Seperti menggeliat, ujung tombak itu menyambar mendatar ke arah dada Ki Gadungbawuk. Tetapi Ki Gadungbawuk masih sempat meloncat surut, sehingga dadanya tidak tersentuh. Pangeran Benawa yang marah itu pun memburunya. Ia harus segera menyelesaikan pertempuran itu, agar ia tidak kehilangan Harya Wisaka. Tetapi Ki Gadungbawuk bukan orang kebanyakan. Ia pun memiliki ilmu yang tinggi, sehingga perlawanannya pun benar-benar harus diperhitungkan oleh Pangeran Benawa. Sementara itu, langkah Paksi pun telah tertahan pula. Ki Madujae berusaha untuk menghalanginya. “Namamu siapa, anak muda?” bertanya Ki Madujae. Paksi tidak menghiraukan pertanyaan itu. Ia tidak mau kehilangan waktu sekejap pun. Karena itu, demikian seseorang berdiri di hadapannya sambil bertolak pinggang, maka Paksi yang telah mendapatkan sebatang tombak pendek itu langsung menyerangnya. “Jangan terlalu garang, anak muda” berkata Ki Madujae sambil tersenyum. “Kau akan menjadi terlalu cepat tua” Paksi tidak menghiraukannya. Serangannya pun kemudian justru semakin garang. Ki Madujae berusaha untuk melawannya dengan mengerahkan segenap tenaganya. Ia pun seorang yang berilmu tinggi dan terlatih untuk terjun di segala medan. Meskipun demikian, Ki Madujae harus mengakui kelebihan Paksi yang bergerak dengan tangkasnya. Tombaknya berputaran dengan cepat, menyambar mendatar, kemudian terjulur mematuk dengan cepat. Ki Madujae harus mengerahkan kemampuannya untuk mengimbangi ketangkasan anak muda itu. Ia tidak boleh terlalu cepat tersinggung jika anak muda itu mendesaknya dan bahkan ujung tombaknya mulai menyentuhnya. Ia tidak boleh kehilangan akal sehingga penalarannya menjadi kabur. Dengan demikian, maka perlawanannya akan menjadi semakin lemah. Seperti Pangeran Benawa, maka Paksi pun ingin segera menyelesaikan lawannya agar ia sempat memburu Harya Wisaka. Tetapi Ki Madujae ternyata tidak mudah ditundukkannya. Dengan tangkasnya Ki Madujae berusaha mengimbangi kemampuan Paksi yang masih sangat muda itu. Dengan demikian, bagi Pangeran Benawa dan Paksi tidak terlalu mudah untuk menyelesaikan lawan-lawan mereka. Ki Gadungbawuk telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menahan Pangeran Benawa. Setidak-tidaknya untuk mengulur waktu. Meskipun ujung tombak Pangeran Benawa sempat menyentuh tubuh Ki Gadungbawuk, namun perlawanan Ki Gadungbawuk sama sekali tidak menyusut. Demikian pula Ki Madujae. Ia tidak memikirkan dirinya sendiri. Tetapi ia lebih banyak memikirkan keselamatan Harya Wisaka. Sementara itu Harya Wisaka telah bergerak keluar dari padukuhan. Raden Suminar dan para pengawal terpilihnya telah berhasil menyibak para prajurit Pajang yang berusaha menahan mereka untuk tetap berada di padukuhan. Sementara itu, Pangeran Benawa dan Paksi masih belum berhasil menghentikan perlawanan lawan-lawan mereka. Demikian pula Raden Sutawijaya. Lawannya tidak lagi hanya seorang Ki Santen Ireng. Tetapi dua orang murid Ki Santen Ireng telah membantunya melawan Raden Sutawijaya. Baru kemudian, setelah pasukan Ki Yudatama berhasil menghancurkan sebagian dari lawan-lawannya, maka Ki Yudatama pun telah bergabung dengan Raden Sutawijaya menghentikan perlawanan Ki Santen Ireng dan murid-muridnya. Dengan demikian, maka Raden Sutawijaya dan Ki Tumenggung Yudatama bersama pasukannya telah memasuki Padukuhan Pandean. Di dalam padukuhan mereka masih tertahan oleh beberapa orang pengikut Harya Wisaka. Namun mereka pun segera dapat diatasi. Dengan cepat maka Raden Sutawijaya pun bergerak ke pintu gerbang di sisi selatan. Ternyata Pangeran Benawa dan Paksi masih bertempur melawan Ki Gadungbawuk dan Ki Madujae. “Biarlah aku ikut bermain, Adimas” berkata Raden Sutawijaya ketika ia berada di belakang Pangeran Benawa yang masih bertempur. Namun Pangeran Benawa pun menjawab, “Susul Paman Harya Wisaka. Ia berada di pintu gerbang padukuhan di sebelah selatan” Dengan cepat Raden Sutawijaya pun segera meninggalkan Pangeran Benawa dan Paksi. Menurut pengamatannya, Pangeran Benawa dan Paksi akan dapat menguasai lawan-lawan mereka, meskipun masih memerlukan waktu. Karena itu, maka Raden Sutawijaya pun tidak merasa perlu untuk membantu mereka. Namun ketika Raden Sutawijaya sampai di pintu gerbang, maka yang ditemuinya adalah pertempuran antara prajurit Pajang dan para pengikut Harya Wisaka yang berusaha menahan mereka yang berusaha untuk memburu Harya Wisaka itu. Tetapi Harya Wisaka sendiri sudah tidak ada di arena pertempuran itu. Raden Sutawijaya pun kemudian bertanya kepada seorang prajurit, “Di mana Paman Harya Wisaka?” “Harya Wisaka berhasil melarikan diri keluar pintu gerbang selatan” “Apakah tidak ada yang memburunya?” “Kami tertahan dalam pertempuran ini” jawab prajurit itu. Raden Sutawijaya menggeram. Bersama Ki Tumenggung Yudatama dan beberapa orang prajurit terpilih, mereka berusaha menyibak medan pertempuran yang menjadi semakin tipis itu. Sejenak kemudian mereka telah berhasil menerobos pintu gerbang dan keluar dari padukuhan. Masih belum terlalu jauh dari pintu gerbang, Raden Sutawijaya melihat arena pertempuran yang tidak begitu besar. Hanya kelompok-kelompok kecil sajalah yang terlibat di dalamnya. “Agaknya Paman Harya Wisaka ada di sana” berkata Raden Sutawijaya. Dengan cepat Raden Sutawijaya bergerak diikuti Ki Tumenggung Yudatama. Mereka berlari ke arah arena pertempuran di tengah-tengah bulak persawahan yang kering itu. Namun langkah Raden Sutawijaya tertegun. Pertempuran itu tidak berlangsung lama. Ketika Raden Sutawijaya mendekat, maka rasa-rasanya semuanya telah selesai Harya Wisaka itu berdiri dengan kepala tunduk. Raden Suminar ternyata telah mengorbankan segala-galanya bagi Harya Wisaka. Tubuhnya terkapar di tanah. Nafasnya pun telah terhenti sama sekali. Di hadapan Harya Wisaka itu berdiri Ki Gede Pemanahan. Beberapa orang pengiringnya, bertebaran di sekitarnya bergabung dengan beberapa orang prajurit Pajang yang datang bersama Ki Tumenggung Yudatama, mengepung padukuhan itu. “Ayah” desis Raden Sutawijaya. “Di mana Pangeran Benawa dan Paksi?” “Mereka masih bertempur di padukuhan itu, Ayah. Padukuhan itu adalah salah satu sarang Paman Harya Wisaka” “Apakah mereka tidak memerlukanmu?” “Tidak, Ayah. Aku baru saja menemui Adimas Pangeran Benawa. Adimas Pangeran Benawa minta aku menyusul Paman Harya Wisaka. Ternyata Ayah sudah ada disini” Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk. Kemudian dipandanginya Harya Wisaka yang menunduk. Dengan nada dalam Ki Gede Pemanahan pun berkata, “Harya Wisaka, kau lihat korban yang masih saja berjatuhan. Kematian demi kematian mengiringi jejak langkahmu, kemana pun kau pergi. Sekarang, Raden Suminar yang baru tumbuh itu sudah kau korbankan pula” Harya Wisaka memandang tubuh yang terbujur itu. Perlahan Harya Wisaka melangkah mendekatinya dan berjongkok di sampingnya. “Suminar” desisnya sambil meraba dahi tubuh yang terbujur diam itu. Ditengadahkannya wajahnya sambil berdesis, “Kau telah membunuhnya meskipun tidak dengan tanganmu sendiri. Tetapi prajurit-prajuritmu yang licik telah mengeroyoknya dan membunuhnya dengan kejam” “Suminar tidak mau mendengarkan peringatan-peringatan yang diberikan kepadanya. Jika ia mau meletakkan senjatanya, maka ia tidak akan terbunuh” “Suminar adalah seorang laki-laki sejati. Ia pantang menyerah meskipun harus mengorbankan nyawanya” “Untuk apa? Apakah kau bangga bahwa Suminar bersedia mati untukmu? Jika kau memerintahkannya menyerah, ia tentu akan menyerah. Tetapi kau biarkan Suminar berbuat sebagaimana kau sebut sebagai laki-laki sejati. Apakah ukuranmu bagi seorang laki-laki sejati? Orang yang mau mati untukmu, sementara kau hanya memburu keinginanmu sendiri yang kau dasari nafsu ketamakan semata-mata?” “Kau salah, Ki Gede” jawab Harya Wisaka. “Jika itu yang terjadi, maka hanya orang-orang dungu saja yang mau mendukung perjuanganku. Tetapi lihat, orang-orang berilmu tinggi dan bernalar tajam bersedia berjuang bersamaku karena mereka melihat kebenaran di dalamnya” “Kebenaran yang dilihat dari satu sisi, tidak mungkin dipaksakan bagi segala pihak di Pajang, Harya Wisaka. Kau melihat kebenaran itu dari tempatmu berpijak tanpa menghiraukan sisi-sisi lain. Sementara itu, orang-orang yang mendukungmu, kau sangka mempunyai pandangan yang sama dengan kau sendiri? Mereka mempunyai kepentingan mereka sendiri, sementara yang lain terbius oleh harapan-harapan yang kau taburkan meskipun kau sendiri tahu, bahwa harapan-harapan itu kosong semata-mata” “Itu dugaanmu, Ki Gede. Tetapi bagi aku dan kawan-kawanku, dugaanmu itu salah. Kami berjuang bersama-sama untuk menegakkan satu cita-cita yang luhur” “Harya Wisaka. Apakah kau tidak melihat, betapa banyaknya korban yang telah jatuh dalam perselisihan ini? Kematian bertebaran di mana-mana. Sementara itu tujuanmu sangat kabur. Jika Kangjeng Sultan Hadiwijaya itu kemudian duduk di atas tahta, bukankah itu sudah merupakan hasil satu permufakatan. Mungkin tidak memuaskan segala pihak. Mungkin Sultan Hadiwijaya sendiri bukanlah orang yang tidak bercacat. Tetapi itu adalah yang terbaik bagi Pajang. Terbaik dari kemungkinan-kemungkinan yang lain. Katakan, bahwa aku pun tidak merasa puas sepenuhnya atas kepemimpinan Sultan Hadiwijaya. Bahkan anaknya sendiri, Pangeran Benawa juga melihat cacat-cacat ayahandanya. Tetapi apakah kita harus menghancurkan Pajang? Menebarkan kematian di mana-mana?” Harya Wisaka menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun berkata, “Adakah perjuangan tanpa pengorbanan?” “Sesuaikah pengorbanan yang kau berikan dengan tujuan perjuanganmu yang kabur dan tidak mendasar? Yang kau berikan hanya berlandasan dendam dan kebencian? Dendam karena kematian Harya Penangsang dan kebencianmu kepada Sultan Hadiwijaya. Tetapi kau tidak mengingat orang-orang yang terbunuh karenanya. Termasuk Raden Suminar. Seorang anak muda yang akan dapat tumbuh menjadi pilar masa mendatang. Tetapi tunas itu harus dipatahkan sekarang, karena merambat di lanjaran yang salah” Harya Wisaka memandang wajah Raden Suminar. Darah membasahi tubuhnya, mengalir dari luka di dadanya, di lambungnya, di bahunya dan di perutnya. Tetapi wajahnya masih saja menunjukkan gereget perjuangannya yang diyakininya. “Suminar” Harya Wisaka itu berdesis. Tetapi Raden Suminar tidak mendengarnya. Harya Wisaka itu pun kemudian bangkit berdiri. Dijulurkannya kedua tangannya sambil berdesis, “Jika Ki Gede akan mengikat tanganku, ikatlah dengan apa saja” “Tidak” berkata Ki Gede. “Kita akan bersama-sama pergi ke istana menghadap Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Kangjeng Sultan bukan seorang pendendam. Ia akan berusaha untuk tegak di atas paugeran” Dalam pada itu, sebelum Ki Gede beranjak dari tempatnya membawa Harya Wisaka langsung ke istana, maka Pangeran Benawa pun telah datang pula. Ketika ia melihat Ki Gede, maka ia pun berdesis, “Paman sudah disini?” “Ki Tumenggung Yudatama telah memberikan laporan kepadaku” berkata Ki Gede Pemanahan. “Agaknya Paman datang tepat pada waktunya” “Ya. Dan perhitungan para penghubung pun benar, bahwa Harya Wisaka akan keluar dari padukuhan lewat arah selatan, karena induk pasukan Pajang berada di sisi utara” “Ya, Paman. Jika saja Paman datang beberapa saat kemudian, maka semuanya tentu sudah lewat” “Di mana Paksi, Pangeran?” bertanya Ki Gede kemudian. “Paksi masih berada di padukuhan itu, Paman. Paksi sedang mencari adiknya” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Anak-anak muda yang sedang tumbuh itu akan kehilangan pribadinya. Mudah-mudahan Paksi dapat menemukannya” Harya Wisaka menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja dari sela-sela bibirnya terdengar ia berdesis, “Anak itu telah dibawa pergi. Ada tiga orang anak muda pergi bersamanya” “Ke mana, Paman?” bertanya Pangeran Benawa. “Jika Paman bersedia membebaskan mereka, Paksi tentu akan sangat berterima kasih. Jika mereka tidak dapat dibebaskan dari cengkeraman keyakinan Paman Harya Wisaka, maka mereka akan kehilangan dirinya dan masa depannya” “Anak itu akan dapat menjadi korban tanpa arti seperti Suminar, Paman” berkata Raden Sutawijaya pula. Harya Wisaka menarik nafas panjang. Sementara itu Ki Gede pun berkata, “Apalagi setelah kau berada di tangan kami. Perjuangan yang diyakininya pada dasarnya sudah terhenti. Yang mereka lakukan kemudian tidak lagi bertujuan sama sekali. Bahkan tujuan yang kabur pun tidak. Karena itu, mereka akan dapat melakukan apa saja untuk mendapatkan kepuasan batin, sementara itu batinnya dilandasi oleh perasaan dendam dan kebencian, sehingga yang lahir dari ungkapan batinnya adalah nafsu menghancurkan apa saja tanpa tujuan” Harya Wisaka termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku tidak tahu pasti, ke mana mereka dibawa pergi. Tetapi ada niat untuk membawa mereka kepada seorang guru yang akan dapat menempa mereka menjadi orang-orang yang berilmu tinggi” “Siapakah guru yang dimaksud?” Harya Wisaka nampak ragu-ragu. Namun kemudian ia pun berkata, “Ki Gede Lenglengan” “Ki Gede Lenglengan? Aku belum pernah mendengar nama itu” desis Ki Gede Pemanahan. “Paman Harya, jika saja Paman Harya sudi menunjukkan, ke mana Paksi harus pergi mencarinya?” Harya Wisaka termangu-mangu sejenak. Ada dorongan di dalam hatinya untuk mengatakan sesuatu. “Tolonglah Paksi, Paman, agar adiknya, anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada tidak mengalami nasib seperti Suminar. Bahkan Suminar masih dapat berbangga karena ia mati untuk satu keyakinan. Apalagi ia mati di hadapan Paman Harya Wisaka. Tetapi apa jadinya adik Paksi itu kelak jika jiwanya tidak segera dapat diselamatkan. Apakah memang tujuan Paman untuk membiarkan Paksi dan adik laki-lakinya kelak saling mendendam dan seorang di antaranya membunuh yang lain?” Tiba-tiba saja terasa kaki Harya Wisaka itu bergetar. Dengan sendat ia pun berkata, “Aku akan berkata dengan jujur, Pangeran. Aku belum tahu letak padepokan Ki Gede Lenglengan. Aku pun tidak tahu nama perguruannya, yang aku dengar, padepokan itu berada di arah Gunung Merapi” Pangeran Benawa memandang wajah Harya Wisaka dengan tajamnya. Sebelum ia mengatakan sesuatu, Ki Gede Pemanahan pun berkata, “Aku percaya kepadamu, Harya Wisaka. Agaknya kau benar-benar belum tahu letak padepokan yang dipimpin oleh orang yang menyebut dirinya Ki Gede Lenglengan itu. Tetapi jika saja kau bersedia mengatakan, siapakah di antara orang-orangmu yang mengenal dan mengetahui letak padepokan itu?” “Suminar adalah murid Ki Gede Lenglengan” “Jika demikian, perguruan itu tentu sebuah perguruan yang mempunyai tataran yang tinggi. Suminar adalah anak muda yang berilmu tinggi” “Apakah ada orang lain yang seperguruan dengan Suminar, Paman?” bertanya Pangeran Benawa. Harya Wisaka mengerutkan dahinya. Dipandanginya orang-orangnya yang ada di sekitarnya. Namun kemudian ia pun menggeleng, “Aku tidak melihatnya sekarang, Pangeran. Tetapi aku berjanji, jika aku dapat mengenali seseorang di antara saudara seperguruan Suminar, aku akan mengatakannya” “Terima kasih” Ki Gede Pemanahanlah yang menyahut, “sekarang kita akan kembali ke kota, bahkan langsung ke istana” Ki Gede pun kemudian memerintahkan untuk menyediakan kudanya dan seekor kuda bagi Harya Wisaka. “Apakah Pangeran akan kembali bersama kami?” bertanya Ki Gede. “Tidak, Paman. Aku akan menunggu Paksi. Kami akan kembali bersama-sama” Dengan demikian, maka Ki Gede Pemanahan segera meninggalkan tempat itu sambil membawa Harya Wisaka. Sekelompok prajurit pengawal yang kuat menyertainya. Bagaimanapun juga mereka masih memperhitungkan kemungkinan buruk dapat terjadi, karena para pengikut Harya Wisaka yang mungkin masih berkeliaran. Sementara itu, Raden Sutawijaya pun sempat berceritera kepada Ki Gede, apa yang terjadi di pintu gerbang kota ketika ia membawa Harya Wisaka memasuki pintu gerbang itu. Dalam pada itu, Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Ki Tumenggung Yudatama masih tetap tinggal. Bukan saja menunggu Paksi. Tetapi mereka harus merawat para prajurit yang terluka dan mengumpulkan mereka yang gugur di pertempuran. Bahkan juga para pengikut Harya Wisaka. Sementara yang menyerah telah dikumpulkan di banjar padukuhan dengan tangan terikat di bawah pengawasan yang kuat. Di banjar itu pula Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi mengamati para tawanan. Sebagian dari mereka adalah anak-anak muda yang sedang tumbuh. Namun ternyata mereka telah terperangkap ke dalam lingkungan yang salah. “Aku menjadi sangat cemas akan nasib adikku” berkata Paksi kemudian. “Kesempatanmu untuk menemukan adikmu memang kecil sekali, Paksi. Tetapi tidak tertutup sama sekali. Harya Wisaka pada saat-saat terakhir memberikan sedikit petunjuk yang barangkali dapat dipakai sebagai alas usaha pencaharian itu” berkata Pangeran Benawa. Paksi memandang Pangeran Benawa dengan karut di kening. Dengan singkat Pangeran Benawa pun kemudian telah memberitahukan kepada Paksi, bahwa ada kemungkinan adiknya berada di sebuah padepokan yang dipimpin oleh Ki Gede Lenglengan. Padepokan yang berada di arah Gunung Merapi. Tetapi Harya Wisaka tidak dapat memberikan keterangan lebih banyak lagi, sementara itu, Suminar, salah seorang pengikut setia Paman Harya Wisaka yang berasal dari perguruan itu sudah terbunuh. Paksi menarik nafas panjang. Ia menjadi semakin cemas, bahwa adiknya akan berada di bawah bimbingan seorang guru yang telah membentuk seseorang yang seakan-akan tidak lagi sempat mempergunakan penalarannya meskipun ia berilmu tinggi sebagaimana Raden Suminar. “Anak itu harus diselamatkan” berkata Paksi seakan-akan kepada diri sendiri. “Ya. Kau memang tidak akan dapat membiarkan anak itu tenggelam di dalam dendam” “Hamba tidak dapat menunda-nunda lagi, Pangeran. Hamba harus segera pergi” “Aku tahu, Paksi. Tetapi sebaiknya kita berbicara lebih mendalam. Mungkin kita perlu berbicara dengan Guru, dengan Paman Pemanahan dan mungkin dengan Ayahanda sendiri” Paksi mengangguk hormat. Hampir tidak terdengar ia berdesis, “Hamba, Pangeran” Dalam pada itu, para prajurit Pajang pun telah sibuk dengan kawan-kawan mereka yang terluka dan yang gugur. Lewat tengah hari, telah datang pasukan baru yang akan menggantikan pasukan yang letih itu. Pasukan yang baru itu harus menyelesaikan tugas-tugas pasukan yang terdahulu, yang akan segera kembali ke barak mereka. Setelah serah terima tugas, maka Ki Yudatama dan pasukan berkudanya segera kembali ke barak mereka. Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi pun berkuda bersama mereka pula. Di pintu gerbang kota mereka berhenti. Ki Yudatama bertanya kepada pemimpin prajurit yang bertugas, siapakah yang memimpin tugas para prajurit di pintu gerbang semalam. Dalam pada itu, Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi pun telah ikut pula memasuki barak Ki Tumenggung Yudatama. Mereka merencanakan, menjelang malam mereka akan mohon menghadap Kangjeng Sultan untuk melengkapi laporan tentang tertangkapnya Harya Wisaka. Sementara itu, pemimpin prajurit yang bertugas di pintu gerbang semalam yang dipanggil oleh Ki Tumenggung Yudatama telah menghadap pula. “Kau kenal dengan ketiga orang ini?” bertanya Ki Tumenggung Yudatama. “Ampun, Ki Tumenggung. Semalam aku tidak dapat mengenal ketiganya” “Seandainya bukan mereka, kau telah menyebabkan Harya Wisaka terlepas” “Ampun, Ki Tumenggung. Aku sama sekali tidak tahu, bahwa orang itu adalah Harya Wisaka” “Bukankah Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi sudah memberitahukan bahwa yang ditangkap itu adalah Harya Wisaka?” “Ya, Ki Tumenggung” “Kau terlalu bernafsu untuk memiliki hadiah bagi siapa yang dapat menangkap Harya Wisaka. Bahkan kemudian kau telah terjebak oleh daging seekor kambing yang akan disembelih, jadi kau tukar Harya Wisaka dengan seekor kambing” “Ampun, Ki Tumenggung” “Bukan itu saja. Tiga orang prajuritmu mati sia-sia di pintu gerbang Padukuhan Pandean. Mereka terjebak karena kebodohan dan ketamakanmu” Pemimpin prajurit yang bertugas di pintu gerbang semalam itu menundukkan kepalanya. Ia sangat menyesal. Tetapi semuanya sudah terlanjur. Tiga orang kawannya meninggal tanpa arti terjebak di sarang para pengikut Harya Wisaka. “Sekarang pulanglah” berkata Ki Tumenggung. “Tetapi setiap saat kau akan dipanggil untuk mempertanggung-jawabkan kebodohanmu itu” “Aku pasrah, karena aku memang telah melakukan kesalahan yang besar” “Kau dapat membayangkan, karena kesalahanmu itu, maka Harya Wisaka harus ditangkap setelah terjadi pertempuran yang menelan banyak korban di kedua pihak. Jika kau tidak melakukan kesalahan itu, maka Harya Wisaka sudah berada di tangan kami tanpa harus menambah korban” Wajah pemimpin kelompok prajurit itu menunduk dalam-dalam. Waktu sudah berlalu, sehingga ia tidak akan dapat mengulanginya lagi. Kematian itu sudah menerkam beberapa orang dan menelannya, sehingga tidak akan dapat dimuntahkan kembali. Yang kemudian harus dihadapinya adalah pengadilan yang akan menentukan, hukuman apakah yang harus disandangnya. Dalam pada itu, ketika malam turun, Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya, Paksi, diantar Ki Tumenggung Yudatama telah pergi menemui Ki Gede Pemanahan. Bersama-sama mereka akan menghadap Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Berlima mereka diterima oleh Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang nampak letih. Kangjeng Sultan sendiri bersama Ki Gede Pemanahan menjelang senja telah berbicara langsung dengan Harya Wisaka. Namun Ki Gede Pemanahan telah memberitahukan, jika diperkenankan, Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi akan mohon waktu untuk menghadap. Meskipun Kangjeng Sultan merasa letih, tetapi Kangjeng Sultan tidak menolak. Apalagi di antara mereka terdapat Pangeran Benawa. Sebenarnya Pangeran Benawa sendiri mempunyai kesempatan yang luas untuk menghadap ayahandanya. Namun karena ia akan datang bersama Paksi, maka ia memerlukan perkenan ayahandanya untuk menerimanya. Pada dasarnya Kangjeng Sultan sendiri juga ingin mendengar laporan langsung dari Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi yang telah berhasil menangkap Harya Wisaka, dan yang kemudian harus dilepaskannya kembali. Namun dengan demikian, mereka justru dapat menemukan salah satu sarang dari para pengikut Harya Wisaka. Bahkan beberapa orang terpenting di antara mereka telah menyerah dan yang lain terbunuh di pertempuran. Berganti-ganti Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya menceriterakan apa yang sudah terjadi sejak mereka bertemu dengan adik laki-laki Paksi di rumahnya sehingga pertempuran yang terjadi di Padukuhan Pandean serta kedatangan Ki Gede Pemanahan serta tertangkapnya kembali Harya Wisaka. Terakhir Paksi telah melaporkan, bahwa ia benar-benar telah kehilangan adiknya. Kangjeng Sultan Hadiwijaya mengangguk-angguk. Katanya, “Aku telah berbicara dengan Harya Wisaka yang dibawa menghadap oleh Kakang Pemanahan. Kakang Pemanahan juga sudah menyinggung tentang adik Paksi yang sudah terlanjur dibawa pergi” “Jika hamba tidak segera dapat menemukannya, maka nasib adik hamba itu tidak akan menjadi lebih baik dari nasib Raden Suminar” “Nampaknya Harya Wisaka menyesali kematian Suminar” berkata Kangjeng Sultan kemudian. “Agaknya ada sesuatu yang tumbuh di hati Harya Wisaka. Ia berusaha memberikan petunjuk sejauh yang diketahui tentang sebuah padepokan yang mungkin akan menjadi tempat berguru adikmu, Paksi. Mungkin Harya Wisaka juga sudah mengatakan kepadamu serba sedikit tentang Ki Gede Lenglengan” “Hamba, Sinuhun” “Aku mengenal Ki Gede Lenglengan meskipun Kakang Pemanahan nampaknya belum. Ki Gede Lenglengan di masa kecilnya adalah seorang anak muda yang binal. Anak muda yang tidak mau terikat oleh paugeran yang berlaku dalam tatanan kehidupan. Aku pernah mengembara bersamanya. Tetapi kami berselisih dan berkelahi. Aku hampir saja membunuhnya. Nampaknya Lenglengan itulah yang kini mendirikan sebuah padepokan di kaki Gunung Merapi itu” Paksi mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Hamba ingin mencari adik hamba” “Tapi kau harus sangat berhati-hati berhubungan dengan Lenglengan. Menilik kelebihannya di masa muda, Lenglengan sekarang tentu memiliki ilmu yang sangat tinggi” “Tetapi hamba tidak dapat membiarkan adik hamba berada di tangannya. Hamba tidak dapat membiarkan adik hamba mengalami nasib seperti Raden Suminar” “Aku mengerti akan kecemasanmu itu, Paksi. Tetapi sebaiknya kau berbicara lebih dahulu dengan guru-gurumu” “Hamba, Sinuhun” “Kau harus mendengarkan nasehat dan petunjuk-petunjuknya. Tugas yang akan kau sandang mungkin akan memerlukan waktu yang agak panjang” “Hamba, Sinuhun” “Meskipun demikian, aku ingin berpesan kepadamu, Paksi. Jika kau sudah mendapatkan kepastian bahwa kau akan mencari adikmu, aku minta kau datang kepadaku” “Hamba, Sinuhun” “Kau juga harus minta diri kepada Ki Gede Pemanahan” “Hamba, Sinuhun” Demikianlah, maka Ki Gede Pemanahan pun minta diri. Ternyata atas permohonan Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi malam itu diperkenankan bermalam di istana. Karena itu, maka Ki Gede Pemanahan dan Ki Tumenggung Yudatama pun segera minta diri. “Mudah-mudahan dengan tertangkapnya Harya Wisaka, keadaan akan dapat menjadi semakin tenang. Apalagi beberapa orang pemimpinnya telah tidak berdaya pula. Bahkan sebagian dari mereka telah terbunuh” berkata Kangjeng Sultan. “Tetapi kita masih akan membersihkan Pajang dari sisa-sisa pengikutnya, Sinuhun” sahut Ki Tumenggung Yudatama. “Tentu, Ki Tumenggung. Semisal sapu lidi, mereka telah kehilangan ikatannya. Tetapi bukan berarti bahwa semuanya sudah selesai. Jika pada suatu saat tampil seorang kuat yang sanggup mengikat mereka, maka mereka akan timbul lagi. Bahkan mungkin yang timbul itu akan menjadi lebih keras dan buas” berkata Kangjeng Sultan selanjutnya. “Hamba, Sinuhun” Ki Tumenggung Yudatama mengangguk dalam-dalam. Demikianlah, maka Ki Tumenggung Yudatama dan Ki Gede Pemanahan pun segera meninggalkan istana. Mereka sepakat untuk tidak mengendorkan usaha untuk menumpas sisa-sisa para pengikut Harya Wisaka. Justru pada satu saat yang sangat menentukan. Saat mereka kehilangan harapan dan kehilangan tempat bergantung karena Harya Wisaka sudah tertangkap. Malam itu, Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi bermalam di istana. Pangeran Benawa telah membawa mereka ke kasatrian. Namun Pangeran Benawa tidak tidur di dalam biliknya. Biliknya sebagai seorang putra terpenting dari Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Tetapi Pangeran Benawa tidur bersama Raden Sutawijaya dan Paksi di serambi samping bangsal kasatrian Pajang. Esok pagi-pagi mereka bertiga sudah bersiap untuk meninggalkan istana kembali ke padepokan mereka di Hutan Jabung. “Pergilah” berkata Kangjeng Sultan kepada mereka bertiga ketika mereka minta diri. Lalu kepada Paksi Kangjeng Sultan itu pun berkata, “Aku ingin mengingatkan, jika kau pergi mencari adikmu, jangan lupa, datanglah kepadaku dan kepada Ki Gede Pemanahan” “Hamba, Sinuhun” Sejenak kemudian, maka ketiga orang itu pun telah meninggalkan istana. Mereka masih saja mengenakan pakaian orang kebanyakan dan berjalan kaki keluar pintu gerbang kota. Para prajurit yang bertugas tidak memperhatikan mereka bertiga. Mereka pun tidak menghentikan mereka bertiga, apalagi setelah Harya Wisaka tertangkap. Namun seorang lurah prajurit yang bertugas memimpin para prajurit yang bertugas itu sempat mengenali mereka. Terutama Pangeran Benawa. Karena itu, maka lurah prajurit itu pun mengangguk hormat sambil berkata, “Ampun, Pangeran. Kemana Pangeran ini hendak pergi sepagi ini?” “Kau kenal aku?” bertanya Pangeran Benawa. “Hamba, Pangeran” jawab Lurah prajurit itu. “Sudahlah. Kau simpan saja sendiri” “Hamba, Pangeran” Tetapi ketika Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi itu melanjutkan perjalanan, prajurit-prajuritnya pun bertanya, “Siapakah mereka, Ki Lurah?” “Orang-orang dungu. Seorang di antara mereka adalah Pangeran Benawa” “Jika demikian, yang seorang lagi itu tentu Raden Sutawijaya dan yang satu lagi Paksi, anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada yang sudah tertangkap itu” “Ya. Ya” Para prajurit itu hanya dapat memandang mereka dari kejauhan. Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi pun sudah menjadi semakin jauh. “Kenapa mereka berpakaian seperti orang kebanyakan?” bertanya seorang prajurit. Lurahnya menggeleng sambil berkata, “Entahlah. Namun justru karena itu, pemimpin prajurit yang bertugas kemarin malam telah melakukan kesalahan yang besar sekali” “Mereka tentu sedang menyamar” berkata prajurit yang lain. “Sebelum Harya Wisaka tertangkap, mereka tentu sedang menyamar. Tetapi setelah Harya Wisaka tertangkap, mereka masih saja mengenakan pakaian seperti itu” “Mereka menyatakan dirinya sebagai cantrik padepokan di Hutan Jabung” “Ya, kau benar” berkata lurah prajurit itu. “Pakaian seperti itulah mungkin yang dianggap paling pantas bagi seorang cantrik padepokan Hutan Jabung” Ki Lurah tersenyum. Kawan-kawannya pun mengangguk-angguk. Sementara itu Pangeran Benawa Raden Sutawijaya dan Paksi pun melangkah terus menuju ke Hutan Jabung..... Namun ketika mereka sampai di Hutan Jabung, yang ada hanyalah Ki Panengah. Ki Waskita sendiri masih berada di kota. “Sayang sekali. Ketika kami meninggalkan kota, kami tidak berusaha menemui Ki Waskita lebih dahulu” desis Pangeran Benawa. “Tidak apa-apa” sahut Ki Panengah. “Ki Waskita tentu akan segera kembali” Dalam pada itu, Paksi masih belum menyatakan keinginannya untuk pergi mencari adiknya. Ia menunggu Ki Waskita datang di padepokan. Baru kemudian ia akan mengatakan kepada kedua orang gurunya itu, bahwa ia akan pergi mencari adiknya. Di sore hari, Ki Waskita ternyata sudah datang pula. Pada hari itu Ki Waskita bertemu dengan Ki Gede Pemanahan untuk mendapatkan penjelasan tentang tertangkapnya Harya Wisaka. “Ki Gede mengatakan bahwa hari ini kalian bertiga merencanakan untuk kembali ke Hutan Jabung. Karena itu, maka aku pun segera menyusul kalian” Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi mengangguk-angguk mengiakan. Sementara itu, Ki Waskita pun berkata, “Selain itu, Ki Gede mengatakan, bahwa ada sesuatu yang penting yang ingin disampaikan oleh Paksi kepadaku dan kepada Ki Panengah” “Ya, Guru” sahut Paksi. “Apakah kau sudah mengatakannya kepada Ki Panengah?” “Belum, Guru. Aku memang menunggu Guru, agar aku dapat menyampaikannya sekaligus kepada kedua orang guruku” “Sekarang kami sudah lengkap” berkata Ki Panengah. “Apa yang ingin kau sampaikan kepada kami, Paksi?” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Guru, aku tidak berhasil menemukan adikku. Ketika aku ikut memburu Harya Wisaka ke Padukuhan Pandean, ternyata adikku sudah dibawa pergi. Karena itu, aku mohon ijin untuk pergi mencari adikku itu” Ki Panengah menarik nafas panjang. Katanya, “Kemana kau akan mencari, Paksi? Bukankah tidak seorang pun tahu, kemana adikmu dibawa pergi” “Ada beberapa petunjuk yang diberikan oleh Harya Wisaka, Guru” “Harya Wisaka?” “Ya. Agaknya ada sentuhan-sentuhan halus di dalam dadanya ketika ia melihat tubuh Raden Suminar yang terbunuh di pertempuran” “Raden Suminar?” desis Ki Panengah. “Ya. Tubuhnya yang terbaring dipenuhi oleh luka-luka, sehingga seluruh pakaiannya menjadi merah” “Apa petunjuk Harya Wisaka?” bertanya Ki Waskita. “Harya Wisaka menyebut sebuah perguruan yang mungkin akan menjadi tempat persinggahan adikku, dan bahkan mungkin ia akan berguru di perguruan itu” “Perguruan apa, Paksi?” bertanya Ki Waskita pula. “Harya Wisaka tidak dapat menyebut nama perguruan itu. Ia hanya mengatakan bahwa letak perguruan itu di arah Gunung Merapi. Sedangkan pemimpinnya bernama Ki Gede Lenglengan. Tetapi Harya Wisaka tidak dapat memberikan keterangan lebih jelas. Sedangkan Raden Suminar adalah salah seorang murid dari perguruan itu” “Ki Gede Lenglengan” Ki Waskita mengulang. “Aku belum pernah mendengar nama itu” Sambil berpaling kepada Ki Panengah, Ki Waskita itu pun bertanya, “Apakah Ki Panengah pernah mendengarnya?” Ki Panengah menggeleng, “Belum, Ki Waskita” “Kangjeng Sultan Hadiwijaya justru sudah mengenalnya” Paksi menyela. “Keduanya justru bertengkar dan bahkan Kangjeng Sultan selagi masih mudanya, hampir saja membunuhnya. Tetapi Kangjeng Sultan berhasil mengekang diri. Namun setelah itu, mereka tidak pernah bertemu lagi. Kangjeng Sultan menduga, bahwa Ki Gede Lenglengan itu adalah kawannya mengembara yang bernama Lenglengan pula” Ki Panengah dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Dengan nada datar Ki Waskita bertanya, “Memang mungkin sekali. Nama itu jarang sekali dipakai orang, sehingga kemungkinannya di Pajang, Demak dan sekitarnya hanya ada satu orang yang bernama Lenglengan. Sejak dahulu sampai sekarang. Meskipun tidak tertutup kemungkinan bahwa ada orang lain yang bernama sama. Tetapi kemungkinannya kecil sekali” “Ya, Guru” sahut Paksi. “Jika demikian, apakah rencanamu?” bertanya Ki Waskita. “Aku akan mohon diri, Guru. Aku ingin mencari adikku itu” “Kau sadari jalan yang akan kau tempuh?” “Aku sadari, Guru” “Seandainya kau dapat menemukan padepokan itu, apakah kau akan dapat mengambil adikmu keluar? Kau harus memperhitungkan kemungkinan, bahwa orang-orang di padepokan itu akan memusuhimu, apalagi jika mereka mendengar bahwa salah seorang muridnya terbunuh di pertempuran melawan orang-orang Pajang di Pandean. Sedangkan kau berdiri di pihak Pajang, meskipun Ki Tumenggung Sarpa Biwada berdiri di pihak Harya Wisaka bersama-sama dengan Raden Suminar. Apalagi jika sikap adikmu tetap memusuhimu” “Aku mengerti, Guru. Tetapi aku tidak dapat berdiam diri jika adikku akan mengalami nasib seperti Raden Suminar. Meskipun Harya Wisaka sudah tertangkap, tetapi akan dapat timbul orang lain untuk menggantikannya. Mungkin orang lain itu mengemban keyakinan sebagai pengikut Harya Wisaka, tetapi mungkin orang lain itu sekedar memanfaatkan keadaan. Orang lain itu berhasil memasang kendali dan mengarahkan gejolak yang sudah tersimpan sebelumnya untuk kepentingannya sendiri, meskipun orang itu juga menyebut-nyebut nama Harya Wisaka” “Syukurlah jika hal itu kau sadari” berkata Ki Waskita. “Dengan demikian kau pun menyadari, bahwa beban tugasmu akan menjadi sangat berat” “Ya, Guru” “Lalu apa rencanamu?” “Aku akan mohon diri” “Sendiri?” “Ya, Guru” “Aku ikut bersamamu, Paksi” berkata Pangeran Benawa. “Kita pernah menjelajahi kaki Gunung Merapi meskipun di sisi selatan. Sekarang kita akan memanjat kaki Gunung Merapi di sisi timur dan mungkin utara” “Pangeran” berkata Paksi, “Pangeran tentu mempunyai tugas-tugas tertentu di istana sebagai putera Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang kelak akan menggantikan kedudukan ayahanda Pangeran. Sebaiknya hamba pergi sendiri” “Tidak” berkata Pangeran Benawa, “aku tidak mempunyai tugas apa-apa. Ketika masih muda, Ayah juga seorang pengembara. Dengan demikian pengalamanku akan menjadi semakin luas. Pengenalanku atas bumi Pajang akan menjadi semakin akrab” “Tetapi jika terjadi sesuatu di perjalanan, taruhannya akan menjadi sangat mahal. Pangeran mempunyai nilai yang sangat tinggi bagi Pajang. Berbeda dengan hamba, Pangeran. Hamba adalah seorang yang tidak mempunyai arti apa-apa bagi Pajang. Persoalan yang hamba hadapi adalah persoalan keluarga hamba. Persoalan yang sangat pribadi, yang tidak selayaknya menyentuh ujung kain panjang Pangeran Benawa” “Sudahlah, jangan berpikir terlalu jauh. Kita lanjutkan pengembaraan kita yang sangat menarik itu. Aku senang hidup di kaki Gunung Merapi yang sejuk itu” Ki Waskita dan Ki Panengah mendengarkan pembicaraan itu dengan jantung yang berdebaran. Dengan ragu-ragu Ki Waskita pun kemudian menyela, “Pangeran, sebaiknya Pangeran tidak pergi. Paksi akan pergi untuk waktu yang tidak ditentukan. Perjalanannya pun sangat berbahaya. Sementara itu persoalan yang dihadapinya adalah persoalan keluarganya. Persoalan yang sangat kecil untuk menyangkut Pangeran Benawa” “Ki Waskita jangan memilah-milahkan kepentingan seseorang berdasarkan pada kedudukannya. Mungkin persoalan yang ingin ditangani oleh Paksi adalah persoalan keluarga dalam hubungannya dengan adik laki-lakinya. Tetapi persoalan ini menyangkut keselamatan seseorang. Mungkin tidak hanya seorang adik Paksi, tetapi ada beberapa orang anak muda yang harus diselamatkan jiwanya. Menurut Paman Harya Wisaka, adik laki-laki Paksi itu telah dibawa ke padepokan Ki Gede Lenglengan bersama-sama dengan tiga orang anak muda. Setidak-tidaknya bertiga dengan adik laki-laki Paksi itu. Dengan demikian aku mempunyai kesimpulan, bahwa selain mereka tentu sudah ada anak muda yang lain yang dibawa ke padepokan Ki Gede Lenglengan itu” Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, Ki Panengah pun berkata, “Jika Pangeran sudah kukuh untuk pergi bersama Paksi, maka Pangeran harus minta ijin lebih dahulu kepada Ayahanda. Jika Pangeran pergi tanpa ijin Ayahanda, maka aku akan terbebani tanggung jawab, karena selama ini Pangeran dianggap menjadi seorang cantrik di padepokan ini” “Baik, Ki Panengah. Aku akan minta ijin Ayahanda” Sambil berpaling kepada Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa berkata, “Tolong, bantu aku Kakangmas, agar aku diijinkan. Baik oleh Ayahanda Sultan maupun oleh Paman Pemanahan” Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebenarnya aku juga ingin pergi, Adimas. Tetapi tidak mungkin. Ayah tentu tidak mengijinkan. Kami harus mulai memikirkan Tanah Mentaok yang dibuka. Ayahanda Sultan telah memberikan isyarat, jika persoalan Harya Wisaka selesai, maka Ayahanda Sultan akan mulai memikirkan Hutan Mentaok” “Waktunya masih lama, Kakangmas. Ayah nampaknya terlalu lamban menangani Hutan Mentaok. Setelah persoalan Paman Harya Wisaka selesai, Ayahanda baru akan mulai menangani Hutan Mentaok. Akan mulai bagi Ayahanda dapat berarti setelah setahun tetapi juga dapat berarti setelah sepuluh tahun” Raden Sutawijaya tersenyum. Katanya, “Tetapi jika akan mulai itu tiba-tiba datang? Sayang sekali, Adimas. Dalam keadaan seperti sekarang ini, aku tidak boleh pergi meninggalkan Pajang. Setiap saat aku dan Ayah Pemanahan dapat dipanggil oleh Ayahanda Sultan untuk membicarakan persoalan Hutan Mentaok” “Baiklah, Kakangmas. Namun aku minta Kakangmas membantu aku agar aku dapat pergi bersama Paksi ke kaki Gunung Merapi” “Sampai kapan, Dimas?” “Tentu tidak dapat menyebut, berapa lama aku akan mengembara bersama Paksi” Raden Sutawijaya menarik nafas panjang. Katanya kemudian, “Baiklah, Dimas. Aku akan membantu. Mudah-mudahan Ayahanda Sultan tidak berkeberatan sehingga Paksi tidak pergi seorang diri” “Besok kita menghadap Ayahanda. Bukankah Ayahanda berpesan, jika Paksi jadi akan pergi mencari adiknya, ia harus minta diri kepada Ayahanda Sultan?” “Ya. Kita besok menghadap Ayahanda. Bukankah begitu, Paksi? Sesuai dengan pesan Ayahanda” “Hamba, Pangeran” “Baiklah, Paksi. Jika kau memang berkeras untuk pergi mencari adikmu, demikian pula jika Pangeran Benawa berkeras untuk pergi bersama Paksi, maka kami tidak akan dapat mencegah kalian. Tetapi sebaiknya kalian jangan pergi esok pagi. Esok pagi dapat saja kalian menghadap Kangjeng Sultan. Tetapi kami, aku dan Ki Waskita, minta kalian masih kembali ke padepokan ini. Besok malam kami akan memberikan beberapa pesan kepada kalian berdua sebagai murid-murid dari padepokan ini” Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, Ki Panengah. Paksi tentu juga tidak akan berkeberatan” Demikianlah, maka Ki Panengah dan Ki Waskita telah sepakat untuk melepaskan Paksi dan Pangeran Benawa pergi, meskipun mereka menyadari, bahwa perjalanan yang akan ditempuh oleh Pangeran Benawa dan Paksi itu adalah perjalanan yang sangat berbahaya. Malam itu Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi tidur di barak mereka. Ketika mereka berada di tengah-tengah para cantrik maka berganti-ganti mereka bertanya, bagaimana mereka bertiga mampu menangkap Harya Wisaka yang disebut memiliki ilmu yang tinggi. Bahkan Harya Wisaka itu tidak sendiri pada saat itu. Ia dikawal oleh beberapa orang pengawalnya yang setia. Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi tidak mau mengecewakan kawan-kawannya para cantrik padepokan Hutan Jabung itu. Karena itu, maka berganti-ganti mereka berceritera untuk saling melengkapi. Para cantrik itu pun menjadi sangat kagum kepada ketiga orang itu. Namun mereka berkata di dalam hati, “Tentu saja putera Kangjeng Sultan dan putera Ki Gede Pemanahan itu mempunyai banyak kelebihan. Sedangkan Paksi telah mendapat tempaan khusus dari Ki Panengah dan Ki Waskita” Baru sedikit lewat malam para cantrik itu pun pergi ke pembaringan mereka masing-masing. Di hari berikutnya, Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi pergi menghadap Ki Gede Pemanahan dan Kangjeng Sultan untuk mohon diri. Sebagaimana diperintahkan oleh Kangjeng Sultan, jika Paksi benar-benar akan pergi mencari adiknya, supaya datang menghadap untuk mohon diri. Ki Pemanahan memang menjadi terharu melihat kesediaan Paksi menempuh bahaya untuk menemukan adiknya. Dengan nada berat Ki Gede Pemanahan itu berkata, “Kau sadari sikap adikmu terhadapmu, Paksi?” “Ya, Ki Gede. Selagi belum terlanjur, aku ingin membawanya kembali dari jalan sesat yang dipaksakan kepadanya itu, Ki Gede” “Aku hormati ketetapan hatimu itu, Paksi. Kebesaran jiwamu dan cintamu kepada keluargamu. Tetapi kau pun harus menghargai hidupmu sendiri” “Ya, Ki Gede” “Kau harus dapat menilai dengar wajar padepokan yang dipimpin oleh Ki Gede Lenglengan itu. Jika kau memasuki padepokan itu, maka kau akan sama saja dengan memasuki sarang ular naga yang siap menyambutnya dengan mulut menganga” “Aku mengerti, Ki Gede” “Pikirkan sepanjang perjalananmu cara terbaik untuk membawa adikmu pulang, Paksi” “Ya, Ki Gede” Setelah memberikan banyak pesan-pesan yang sangat berarti bagi Paksi, maka Ki Gede itu pun kemudian berkata, Kita pergi ke istana untuk menghadap Kangjeng Sultan sekarang, Paksi” Demikianlah, bersama Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan, Paksi pun pergi ke istana memenuhi perintah Kangjeng Sultan. Seperti Ki Gede Pemanahan, Sultan Hadiwijaya merasa kagum akan kesetiaan Paksi terhadap keluarganya. Meskipun ia sadar, bahwa padepokan itu merupakan tempat yang sangat berbahaya, namun ia akan berusaha untuk menemukan adiknya yang sudah tersuruk ke dalamnya. Seperti Ki Gede, maka Kangjeng Sultan yang juga sudah kenyang pengalaman pengembaraan di masa mudanya, memberikan banyak sekali pesan-pesan yang sangat berarti bagi Paksi. Namun tiba-tiba saja Pangeran Benawa berkata, “Ayahanda, hamba ingin mohon ijin untuk menemani Paksi” Kangjeng Sultan memang agak terkejut. Dipandanginya Ki Gede Pemanahan untuk mendapatkan pertimbangannya. “Pangeran” berkata Ki Gede Pemanahan, “Pangeran harus mempersiapkan diri untuk tugas-tugas kerajaan mendatang”, “Apakah Ayahanda dahulu juga pernah mempersiapkan diri seperti itu di istana?” Pangeran Benawa itu justru bertanya. “Tetapi sebagai menantu Kangjeng Sultan Trenggana di Demak, aku banyak belajar di lingkungan istana, Benawa” sahut Kangjeng Sultan. “Baru setelah Ayah berada di istana. Tetapi sebelumnya? Sampai kapan waktu itu Ayah mengembara?” Kangjeng Sultan menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa darah pengembaranya telah mengalir di tubuh anaknya. Meskipun berbeda dengan dirinya yang lahir di padukuhan kecil yang bernama Tingkir, sedangkan Pangeran Benawa lahir di istana, namun ia tidak dapat mencegah mengalirnya darah pengembaranya ke tubuh anaknya. Sementara itu Pangeran Benawa telah menggamit Raden Sutawijaya, agar ia membantunya mendesak ayahnya, Ki Gede Pemanahan dan ayahanda angkatnya, Kangjeng Sultan Hadiwijaya, agar mereka mengijinkan Pangeran Benawa pergi bersama Paksi. Namun ternyata Raden Sutawijaya tidak berkata apa-apa. Bahkan Raden Sutawijaya itu justru semakin menunduk. Karena itu, maka Pangeran Benawa itu berkata pula, “Hamba mohon, Ayahanda” “Menurut ceriteramu, ketika kau mengembara bersama Paksi sebelumnya, kau dan Paksi telah menyamarkan diri. Tidak ada yang tahu bahwa kau adalah Pangeran Benawa. Namun sekarang kau tidak dapat melakukannya, karena adik Paksi itu akan dapat segera mengenalimu. Dengan demikian, maka seisi padepokan itu akan segera tahu, bahwa kau adalah anak Sultan Hadiwijaya yang memenjarakan Harya Wisaka. Apalagi jika Ki Gede Lenglengan itu benar-benar Lenglengan yang aku kenal. Ia sangat berhati-hati” Kangjeng Sultan menarik nafas dalam-dalam. Namun Kangjeng Sultan itu pun kemudian berkata, “Baiklah, Benawa. Kau boleh pergi bersama Paksi. Tetapi aku ingin menasehatkan kepada Paksi dan kau, Benawa. Sebaiknya yang kalian lakukan adalah sekedar mencari dan menemukan padepokan itu. Kemudian setelah kalian menemukannya, maka kalian harus membawa sekelompok prajurit untuk memasuki padepokan itu” “Maksud Ayahanda, jika kami menemukan padepokan yang dipimpin oleh Ki Gede Lenglengan, kami harus kembali ke Pajang untuk mengambil dan kemudian membawa sekelompok prajurit menyerang padepokan itu?” “Ya” Sementara itu Ki Gede Pemanahan pun berkata pula, “Itu adalah jalan yang paling baik untuk ditempuh, Pangeran” “Tetapi kalau Ki Gede Lenglengan tidak berniat memusuhi kami?” “Bukankah pasukan itu tidak menyerang padepokan itu dengan serta-merta. Kalian harus membuat hubungan dengan Ki Gede Lenglengan. Jika Ki Gede Lenglengan tidak ingin memusuhimu, maka dalam hubungan itu, ia tentu akan bersedia menyerahkan adik laki-laki Paksi. Tetapi jika tidak, maka persoalannya akan menjadi lain” Pangeran Benawa termangu-mangu sejenak. Di luar sadarnya ia berpaling kepada Paksi. “Kalian tidak mempunyai pilihan lain” berkata Kangjeng Sultan. “Jika kalian memaksa diri karena kemudaan kalian, sehingga darah kalian mudah mendidih, maka kalian akan mengalami kesulitan yang mungkin tidak teratasi” “Bagaimana pendapatmu, Paksi?” Paksi memang tidak dapat mengelak. Jika ia menolak petunjuk Kangjeng Sultan, maka mungkin Kangjeng Sultan justru tidak dapat mengijinkan Pangeran Benawa pergi. Pangeran Benawa tentu akan menjadi sangat kecewa. Karena itu, maka Paksi pun kemudian berkata, “Segala sesuatunya terserah kepada Pangeran” Pangeran Benawa memandang Raden Sutawijaya sekilas. Namun Raden Sutawijaya itu justru berkata, “Adimas, nampaknya jalan itu adalah jalan yang terbaik. Kita tidak dapat membanggakan diri melampaui keterbatasan kita masing-masing. Padepokan Ki Gede Lenglengan tentu berisi beberapa orang cantrik dan putut yang sudah mewarisi sebagian besar ilmu Ki Gede Lenglengan sebagaimana Raden Suminar. Karena itu, seberapa pun tinggi ilmu Adimas Pangeran dan Paksi, namun adalah sangat berbahaya jika Pangeran dan Paksi ingin memaksakan kehendak kalian kepada Ki Gede Lenglengan di padepokannya sendiri yang dikerumuni oleh para cantrik, putut dan jejanggan” Akhirnya Pangeran Benawa mengangguk-angguk sambil berdesis, “Baiklah, Ayahanda. Hamba dan Paksi akan menjalankan petunjuk Ayahanda” Kangjeng Sultan Hadiwijaya menarik nafas panjang. Katanya, “Jika kalian berjanji, maka Benawa akan aku ijinkan pergi bersama Paksi. Bagaimanapun juga Benawa mempunyai kedudukan khusus di Pajang, sehingga keselamatannya harus mendapat perhatian. Bukan berarti aku mengabaikan keselamatan Paksi. Tetapi kedua-duanya tidak boleh terperosok ke dalam panasnya api yang menyala di dalam dada kalian. Aku sekarang selalu mengucap syukur, bahwa aku dapat melampaui masa-masa gejolak mudaku dengan selamat, karena waktu itu aku kadang-kadang hanyut dalam arus kemudaanku, sehingga aku sering kehilangan penalaran yang wajar. Karena itu, aku dapat memperingatkan kalian, agar kalian lebih berhati-hati dari sikap dan tingkah lakuku di masa muda. Bahkan aku kadang-kadang masih merasa ngeri atas sikap dan tingkah lakuku sendiri di masa muda itu” Pangeran Benawa dan Paksi menundukkan wajah mereka. Mereka mengerti maksud pesan-pesan Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang di masa mudanya telah melakukan pengembaraan yang sangat panjang. Banyak sekali pengalaman-pengalaman yang didapatnya dalam pengembaraan itu. Namun Kangjeng Sultan itu berkata lebih lanjut, “Jika aku mendapat kesempatan untuk menjadi muda kembali, aku tidak akan berani melakukan sebagaimana pernah aku lakukan itu” Peringatan itu terasa sangat keras di hati Pangeran Benawa dan Paksi. Namun dengan demikian, maka Pangeran Benawa dan Paksi akan mempertimbangkan segala tingkah lakunya dengan lebih seksama lagi. Dalam pada itu, maka Ki Gede Pemanahan pun berkata, “Jika demikian, Kangjeng Sultan, hamba akan menyiapkan sekelompok pasukan khusus. Hamba ingin mengumpulkan kembali para prajurit yang pernah mendapat tempaan khusus untuk memburu Harya Wisaka bersama Pangeran Benawa, Sutawijaya dan Paksi. Mereka akan berada kembali dalam satu kelompok yang siap untuk menjalankan tugas apabila datang perintah untuk pergi ke padepokan Ki Gede Lenglengan” “Baiklah, Kakang. Kakang dapat menyusun sebuah kelompok khusus yang akan dilengkapi dengan kuda agar dapat bergerak lebih cepat. Namun jika kekuatan padepokan Ki Gede Lenglengan itu jauh lebih besar dari kelompok yang sudah Kakang siapkan, maka Kakang akan dapat berhubungan dengan Ki Yudatama. Bukankah sebagian dari pasukannya terdiri dari pasukan berkuda yang akan dapat bergerak dengan cepat pula?” “Hamba, Sinuhun” Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk. Kangjeng Sultan itu pun kemudian bertanya kepada Paksi, “Kapan kau akan berangkat, Paksi?” “Secepatnya, Sinuhun. Jika guru-guru hamba memperkenankan, hamba akan berangkat esok pagi” “Baiklah. Aku akan berdoa untukmu, Paksi, agar kau berhasil menemukan adikmu itu” Kemudian Kangjeng Sultan itu pun berpaling kepada Pangeran Benawa. “Bawalah bekal secukupnya. Mungkin kalian memerlukan uang. Bukan saja untuk bekal perjalanan, tetapi mungkin kalian dapat mempergunakannya untuk memperlancar usaha kalian membebaskan adik laki-laki Paksi. Bukan saja seorang anak muda. Tetapi mungkin di perguruan itu ada beberapa anak muda yang akan disiapkan untuk satu perjuangan berjangka panjang. Dan bahkan mungkin di perguruan itu pula diharapkan akan tumbuh tunas untuk menggantikan kepemimpinan Harya Wisaka” “Terima Kasih, Sinuhun. Hamba mohon doa restu” “Tugas yang dibebankan kepadamu kali ini bukan saja menyangkut kepentingan pribadimu dan keluargamu, Paksi. Tetapi juga untuk kepentingan yang lebih besar lagi bagi Pajang” “Hamba, Sinuhun” “Nah, sekarang persiapkan segala-galanya bersama Benawa” “Hamba, Sinuhun” Dengan demikian, maka Pangeran Benawa, Paksi dan Raden Sutawijaya pun mohon diri. Namun mereka tidak langsung keluar dari lingkungan istana. Tetapi Pangeran Benawa telah membawa mereka ke kasatrian. Sementara itu, Ki Gede Pemanahan masih berbincang dengan Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Dalam pada itu, Pangeran Benawa pun segera mempersiapkan segala sesuatunya menjelang keberangkatannya bersama Paksi untuk mencari padepokan yang dipimpin oleh Ki Gede Lenglengan. Padepokan yang belum diketahui tempatnya selain sekedar arahnya saja. Seperti pesan ayahandanya, maka Pangeran Benawa dalam pengembaraannya akan membawa uang yang cukup. Bukan saja sebagai bekal, tetapi juga untuk keperluan-keperluan yang lain. “Sayang sekali, aku tidak dapat ikut bersama kalian” berkata Raden Sutawijaya. “Doakan saja kami dapat berhasil dan selamat di perjalanan, Kakangmas” “Tentu, Adimas. Aku yakin, kalian adalah pengembara-pengembara yang berpengalaman. Meskipun demikian, jangan lupa kalian mohon perlindungan serta petunjuk-petunjuk-Nya di sepanjang jalan” “Ya, Kakangmas. Nampaknya perjalanan kami kali ini tidak akan terlalu lama. Kami akan segera menemukan padepokan Ki Gede Lenglengan. Seterusnya seperti kanak-kanak, kami akan pulang sambil merengek-rengek menyampaikannya kepada orang tuanya tentang anak-anak yang nakal yang tidak dapat kami lawan sendiri” “Maksud Ayahanda tentu tidak begitu, Adimas. Tetapi Ayahanda yang sudah sangat berpengalaman mengembara itu justru ingin berhati-hati. Penglihatan Ayahanda tentang padepokan itu memaksa Ayahanda untuk mengambil langkah-langkah pengamanan. Apalagi Adimas Pangeran Benawa seperti yang dikatakan oleh Ayahanda mempunyai kedudukan yang khusus bagi Pajang” Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, “Kakangmas benar. Kami pun akan mematuhinya” Beberapa saat kemudian, maka Pangeran Benawa pun telah selesai. Karena itu, maka Pangeran Benawa pun telah minta diri kepada Raden Sutawijaya. Demikian pula Paksi. “Selamat jalan” desis Raden Sutawijaya yang juga memiliki pengalaman mengembara yang luas. Seperti pada saat-saat mereka mencari Harya Wisaka, maka keduanya telah mengenakan pakaian orang kebanyakan. Mereka keluar dari pintu gerbang samping. Para prajurit yang bertugas di pintu gerbang itu sama sekali tidak menjadi heran melihat Pangeran Benawa mengenakan pakaian yang lusuh itu, karena Pangeran Benawa memang sering melakukannya. Dari istana, maka Paksi mengajak Pangeran Benawa untuk singgah di rumah Paksi. Paksi ingin menemui ibunya sebelum berangkat mencari adik laki-lakinya itu. “Berapa lama kau akan pergi, Paksi?” “Aku tidak dapat mengatakannya, Ibu” “Bukankah kau berjanji untuk menemani kami tinggal di rumah ini?” “Tetapi adikku itu harus diselamatkan dari tangan para pengikut Harya Wisaka. Meskipun Harya Wisaka sudah tertangkap, namun keyakinan sesatnya masih akan dapat tumbuh lagi setiap saat. Karena itu, aku ingin adikku dan mungkin beberapa orang anak muda yang lain, dapat terlepas dari pengaruh yang jahat itu, Ibu” Ibunya mengangguk kecil. Sementara itu adik perempuan Paksi pun bertanya, “Kakang Paksi akan membawa Kakang itu pulang?” “Berdoalah. Semoga aku dapat membawanya pulang” “Tetapi Kakang Paksi juga harus pulang” “Tentu. Doamu tentu akan didengar oleh Yang Maha Agung, sehingga Kakang akan pulang dengan selamat” “Paksi” berkata ibunya, “apa saja yang akan kau bawa? Kau mempunyai simpanan yang dapat kau pakai sebagai bekal” Paksi berpaling kepada Pangeran Benawa yang berdesis, “Kau tidak usah membawa apa-apa, Paksi. Aku kira bekal kita sudah cukup” Namun Paksi itu pun menyahut, “Jika kita terpisah dengan tiba-tiba tanpa kita kehendaki, maka aku akan kekeringan di pengembaraan” Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, “Baiklah. Terserah kepadamu” Paksi pun kemudian telah menyiapkan bekal pula sebagaimana ia menempuh pengembaraan yang terdahulu. Ketika kemudian Paksi minta diri, maka mata adik perempuannya pun menjadi berkaca-kaca. Katanya, “Jangan terlalu lama pergi, Kakang” Paksi mencium adiknya di kening sambil berdesis, “Aku akan segera pulang. Jangan menangis” Ibunya serta adiknya melepas Paksi dan Pangeran Benawa di regol halaman. Setelah berjalan beberapa langkah Paksi berpaling sambil melambaikan tangannya. Adik perempuan dan ibunya pun melambaikan tangannya pula. Namun kemudian Paksi dan Pangeran Benawa pun mempercepat langkahnya. Mereka akan menuju ke Hutan Jabung. Menurut kedua orang gurunya, malam itu mereka diminta untuk berada di padepokan sebelum mereka berangkat mencari sebuah padepokan yang dipimpin oleh Ki Gede Lenglengan. Ketika malam turun, maka Pangeran Benawa dan Paksi yang sudah berada di padepokan, segera menghadap Ki Panengah dan Ki Waskita. Kedua orang itu tidak hanya sekedar memberikan beberapa petunjuk tentang perjalanan yang akan mereka tempuh. Tetapi keduanya juga memberikan beberapa petunjuk tentang ilmu yang sudah mereka kuasai. Ki Panengah dan Ki Waskita telah membuka beberapa celah-celah dari ilmu yang mereka ajarkan, yang masih mungkin dikembangkan. Sehingga dengan demikian, mereka akan dapat mencari tataran yang lebih tinggi dari tataran sebelumnya. “Kalian berdua mempunyai banyak kesempatan di dalam pengembaraan kalian untuk mencobanya. Tetapi kalian harus berhati-hati. Kalian tidak boleh tergesa-gesa. Tetapi kalian harus memperhitungkan segala kemungkinan yang dapat terjadi. Kalian harus memperhitungkan kesediaan wadag kalian mendukung perkembangan ilmu kalian, karena kalian tidak dapat memaksa kemampuan kewadagan kalian melampaui yang seharusnya” Keduanya mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Panengah pun berkata, “Aku tahu, bahwa ilmu dan kemampuan Pangeran Benawa sulit untuk dijajagi. Karena itu, aku mohon Pangeran dapat membimbing Paksi mengembangkan ilmunya melalui celah-celah yang sudah kami sebutkan itu” “Terima kasih atas pujian ini, Ki Panengah. Tetapi apakah yang dapat aku lakukan? Apakah aku mempunyai kelebihan dalam olah kanuragan?” Ki Panengah dan Ki Waskita tertawa. Dengan nada rendah Ki Waskita berkata, “Jika saja kami belum mengenal Pangeran” Pangeran Benawa hanya menarik nafas dalam-dalam. Demikianlah mereka berbincang sampai jauh lewat tengah malam. Ki Waskita bahkan berkata, “Kalian tidak usah tergesa-gesa beristirahat. Meskipun besok kalian akan pergi, tetapi kalian tidak terikat oleh waktu. Kalian dapat saja berangkat pagi-pagi sekali. Tetapi kalian dapat berangkat lewat tengah hari. Sementara itu jika kalian lelah di perjalanan, maka kalian dapat saja beristirahat kapan saja” “Ya, Guru” desis Paksi. Karena itu, maka Ki Panengah dan Ki Waskita masih saja memberikan petunjuk-petunjuk terpenting bagi perjalanan Paksi dan Pangeran Benawa serta petunjuk-petunjuk untuk dapat mencapai tataran tertinggi dari ilmu mereka. Baru ketika terdengar ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya, Ki Panengah pun berkata, “Nah, sekarang kalian boleh beristirahat” Pangeran Benawa dan Paksi pun telah pergi ke pembaringan mereka. Namun malam tinggal sejemput lagi. Meskipun demikian, keduanya masih sempat tidur beberapa saat. Namun mereka pun segera terbangun ketika kawan-kawannya, para cantrik padepokan itu bangun. Pangeran Benawa dan Paksi memang tidak nampak tergesa-gesa. Mereka dapat berangkat kapan saja. Jika mereka ingin berangkat pagi-pagi, bukannya karena mereka dikejar waktu. Tetapi mereka ingin berjalan sebelum sinar matahari menggatalkan kulit mereka. Baru setelah matahari naik, serta setelah mereka bersama-sama para cantrik makan pagi, maka Pangeran Benawa dan Paksi pun minta diri. Ki Panengah memberikan ucapan selamat atas nama para cantrik. Ia mengharap bahwa Pangeran Benawa dan Paksi segera kembali ke padepokan. “Kami akan segera kembali” berkata Paksi di hadapan para cantrik dan kedua orang gurunya. “Selama ini Raden Sutawijaya akan tetap berada di padepokan ini. Mungkin sore nanti atau esok pagi, Raden Sutawijaya telah berada disini” Kedua orang guru Paksi itu mengantarnya sampai ke regol padepokan. Demikian pula para cantrik, bahkan beberapa orang yang bertugas menyelesaikan padepokan itu. Di regol, Ki Waskita sempat berdesis, “Sekarang kalian benar-benar hanya berdua. Kami tidak dapat mengikuti perjalanan kalian sebagaimana pernah kami lakukan” “Aku mengerti, Guru” jawab Paksi. “Kami mohon doa restu” Demikianlah, maka kedua orang itu telah meninggalkan padepokan mereka di Hutan Jabung. Mereka mengenakan pakaian orang kebanyakan. Paksi membawa tongkatnya sementara Pangeran Benawa siap dengan pisau belatinya yang berada di bawah kain panjangnya. Gelang yang lebar yang dikenakan di pergelangan tangannya di bawah bajunya yang berlengan panjang. Keduanya memang tidak tergesa-gesa. Mereka meninggalkan padepokan setelah matahari menjadi semakin tinggi. Mereka berjalan menyusuri jalan di pinggir Hutan Jabung. Perjalanan mereka memang belum perjalanan yang sangat jauh. Tetapi jalan yang mereka tempuh adalah jalan yang rumit. Mereka menempuh perjalanan ke arah Gunung Merapi. Padepokan yang mereka cari mungkin berada di kaki Gunung Merapi. Tetapi mungkin pula berada di lambungnya. Mungkin padepokan itu berada di lingkungan yang berpenghuni, tetapi mungkin pula tidak. “Apakah kita akan melihat ladang kita di sisi selatan kaki Gunung Merapi?” berkata Pangeran Benawa tiba-tiba. “Apakah gubuk itu masih ada? Tanaman-tanaman yang kita tinggalkan. Rumpun-rumpun pohon pisang. Air terjun dan goa di belakangnya?” “Kita akan mencari padepokan itu lebih dahulu, Pangeran” “Ya. Kita akan mencari padepokan itu dahulu” Pangeran Benawa dan Paksi berjalan seenaknya saja. Mereka sempat memperhatikan pohon-pohon raksasa yang tumbuh di Hutan Jabung. Meskipun Hutan Jabung tidak terlalu luas, tetapi Hutan Jabung adalah hutan yang tua. Pepohonan yang terdapat di dalamnya adalah pohon-pohon yang sudah tua pula, sehingga tumbuh menjadi pohon-pohon raksasa. Di dalamnya terdapat pula binatang buas yang berkeliaran. Pangeran Benawa dan Paksi yang berjalan di sebelah pohon-pohon raksasa itu merasa diri mereka seperti orang-orang kerdil. Sekali-sekali mereka menengadahkan wajah mereka memandang rimbunnya dedaunan. Namun beberapa saat kemudian, mereka meninggalkan jalan setapak di pinggir Hutan Jabung. Mereka turun ke jalan yang sedikit lebih lebar lagi melintas padang perdu yang ditumbuhi oleh gerumbul-gerumbul liar. Di sana-sini masih terdapat beberapa pohon yang besar. Bahkan berkelompok. Di dekat gumuk kecil, terdapat sekelompok pohon-pohon raksasa yang tumbuh mengitari sebuah belumbang yang airnya penuh dengan reruntuhan daun-daun kering. Namun di dalamnya terdapat ikan-ikan yang besar berkeliaran di bawah permukaan, yang sekali-sekali menyembulkan kepalanya. Ikan-ikan yang semakin lama menjadi semakin besar, karena tidak seorang pun yang pernah mengambil ikan di belumbang yang dianggap keramat itu. Apalagi tempat itu memang agak jauh dari padukuhan-padukuhan yang berpenghuni. Ketika matahari mulai turun, maka mereka telah berada di sebuah bulak yang panjang. Panjang sekali. Jalannya yang mulai naik perlahan-lahan, berkelok-kelok menghindari gumuk-gumuk padas serta lereng sungai-sungai kecil terjal dan licin. “Kita berada di daerah Manjung, Paksi” berkata Pangeran Benawa. “Ya” Paksi mengangguk-angguk. “Nampaknya jalan ini jarang dilalui orang. Hanya para petani yang sawahnya berada di bulak ini sajalah yang sering melewati jalan ini” “Jalan ini adalah jalan ke Nglungge” “Nglungge?” “Ya. Jalan ini adalah jalan yang paling dekat untuk pergi ke Nglungge. Sebenarnya jalan ini bukan jalan yang sepi. Dari Nglungge orang dapat pergi memanjat kaki Gunung Merapi atau melingkar ke Ponggok, Klalung, Jati Anom dan jika kita melingkari Gunung Merapi sepanjang kakinya, dan sampai di sisi selatan, kita akan sampai ke daerah pengembaraan kita itu” “Tetapi dari Nglungge kita akan meneruskan perjalanan memanjat kaki Gunung Merapi. Kita tidak akan melingkar ke sisi sebelah selatan” Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa Paksi terlalu gelisah karena adik laki-lakinya yang hilang itu. Sebenarnyalah jalan yang dilalui itu bukan jalan yang terlalu sepi. Mereka menyusuri jalan itu menuju ke Manjung. Dari Manjung mereka akan turun ke sebuah sungai yang tidak terlalu besar untuk menyeberang. Di sore hari mereka sampai di Manjung. Langit sudah mulai nampak buram. Pakaian Pangeran Benawa dan Paksi yang lusuh itu sudah menjadi basah oleh keringat. Meskipun sebenarnya jarak ke Manjung tidak terlalu jauh, tetapi karena jalan yang berkelok-kelok dan menanjak, maka perjalanan itu mereka tempuh beberapa lama. Dua orang berkuda mendahului Pangeran Benawa dan Paksi yang menepi. Kuda-kuda itu tidak berlari terlalu kencang. Agaknya jalan memang agak licin meskipun tidak turun hujan. Lereng-lereng batu padas itu rasa-rasanya mengandung air sehingga di satu dua tempat, batu-batu padas itu menjadi basah. Bahkan titik-titik air seakan-akan meleleh dari lubang-lubang kecil pada batu-batu padas itu. “Di sini terdapat banyak air” desis Pangeran Benawa. “Ya” Paksi mengangguk-angguk. “Parit itu tentu tidak pernah kering” “Tanah persawahan itu juga merupakan tanah yang subur. Batu-batu padas itu bagaikan menyibak dan berkumpul pada gumuk-gumuk kecil yang terdapat di bulak itu” “Tentu hasil kerja keras para petani” “Ya” Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Ketika keduanya akan memasuki padukuhan Manjung, mereka harus menepi lagi. Dua orang berkuda yang lain telah mendahului mereka pula di pintu gerbang tanpa mau menunggu Pangeran Benawa dan Paksi melewatinya. “Kaki kuda itu hampir menginjak kakiku” desis Pangeran Benawa. Paksi memandang kedua orang berkuda itu yang tanpa berpaling melanjutkan perjalanan mereka menyusuri jalan padukuhan Manjung. Ternyata Manjung adalah sebuah padukuhan yang cukup besar dan ramai. Kesejahteraan para penghuninya pun nampaknya tidak tertinggal dari para penghuni padukuhan dekat pintu gerbang kota. Rumah-rumah di sebelah-menyebelah jalan induk padukuhan Manjung itu pun terdiri dari rumah-rumah yang cukup besar di halaman yang luas. Namun sayang, bahwa rumah-rumah itu nampaknya kurang terpelihara sehingga nampak kurang rapi dan kurang bersih. “Kau pernah datang ke padukuhan ini, Paksi?” bertanya Pangeran Benawa. “Belum, Pangeran. Hamba baru sekali pergi mengembara di sisi selatan Gunung Merapi” Demikianlah, keduanya memasuki Padukuhan Manjung semakin dalam. Mereka mulai melihat isi dari padukuhan itu. “Pangeran pernah datang kemari?” “Beberapa tahun yang lalu. Tetapi padukuhan ini belum seramai sekarang” “Apakah beberapa tahun yang lalu jalan ini belum merupakan jalur perjalanan seperti sekarang?” “Nampaknya sekarang jalan ini juga menjadi jalur perdagangan” Paksi mengangguk-angguk. Paksi itu bahkan tertegun ketika ia melihat sebuah kedai di pinggir jalan. Tidak hanya satu. Tetapi dua dan bahkan tiga. “Nampaknya kita akan sampai ke sebuah pasar” berkata Paksi. “Ya. Memang ada pasar di pinggir padukuhan ini. Tetapi seingatku, pasar di padukuhan ini adalah pasar yang hanya ramai sepekan sekali” “Mungkin hari ini hari pasaran” Pangeran Benawa itu pun mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin hari ini memang hari pasaran” “Apakah Pangeran akan singgah?” “Panggil aku Wijang” “Wijang” ulang Paksi. “Ya. Wijang. Kau kenal nama itu” Paksi tersenyum. Tetapi ia harus mengingat-ingat bahwa ia berjalan bersama Wijang..... Beberapa saat kemudian, mereka sudah menjadi semakin dekat dengan pasar. “Pangeran” desis Paksi. “Namaku Wijang” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Wijang, langit sudah menjadi semakin muram. Tetapi nampaknya pasar itu masih ramai” “Tetapi suasananya lain, Paksi. Ramainya tidak seperti ramainya pasar kebanyakan” Paksi mengangguk-angguk. Namun keduanya pun melangkah terus. Ketika mereka melewati kedai-kedai yang masih membuka pintunya, mereka melihat ada beberapa orang yang berada di dalam kedai itu. Mereka pun melihat beberapa ekor kuda yang terikat di lorong sebelah pasar itu. “Ada apa sebenarnya?” desis Pangeran Benawa yang lebih senang dipanggil Wijang itu. Paksi pun merasa heran. Tetapi pasar itu nampak hidup meskipun menjelang malam. Paksi dan Wijang pun kemudian berhenti di pasar itu. Mereka tidak masuk ke dalam sebuah kedai yang masih terbuka dan melayani banyak orang. Tetapi Paksi dan Wijang duduk di dekat seorang penjual nasi yang menjajakan dagangannya di sebelah regol pasar. “Ada minumannya, Bibi?” bertanya Wijang. “Ada. Ada, Ngger. Wedang sere dengan gula kelapa” “Aku haus, Bi” “Satu atau dua mangkuk?” “Dua mangkuk, Bi. Adikku ini juga haus” Sejenak kemudian, keduanya pun sudah menghirup minuman yang ternyata masih hangat. “Nasinya, Ngger?” “Nasi apa, Bi?” “Nasi megana, Ngger” “Baik, Bi. Beri kami dua pincuk nasi megana” Sejenak kemudian, Paksi dan Wijang pun telah sibuk menyuapi mulut mereka dengan nasi megana yang agak pedas. Meskipun demikian Wijang itu masih sempat bertanya, “Ada apa, Bi? Tempat ini nampaknya masih ramai meskipun matahari sudah turun” “Hari ini hari pasaran, Ngger” “O. Tetapi aku tidak melihat lagi orang berjualan di pasar seperti kebanyakan pasar. Tidak ada sayuran, tidak ada barang-barang kerajinan bambu seperti tenggok, tenong, irig dan sebagainya. Tetapi ada pula orang berjualan gula kelapa kain tenun dan lain-lainnya” “Tadi pagi ada, Ngger” “Tetapi orang-orang itu masih belum pergi, Bi. Justru orang-orang berkuda. Kedai-kedai itu masih banyak pembelinya. Bahkan nampaknya Bibi pun masih mengharap beberapa orang pembeli lagi” “Apakah kalian berdua belum pernah datang sebelumnya di pasar Manjung ini?” “Aku tahu di sini ada pasar, Bi” jawab Pangeran Benawa. “Tetapi seingatku hanya ramai di hari pasaran di pagi hari” Perempuan separo baya yang menjual nasi itu tersenyum. Katanya, “Tadi pagi pasar ini ramai sebagaimana pasar yang lain di hari pasaran. Sedangkan orang-orang yang sekarang berada di pasar ini adalah orang-orang yang besok pagi akan melanjutkan perjalanan ke Nglungge di seberang sungai. Dari sana mereka akan memencar menurut keperluan mereka masing-masing” “O” Wijang mengangguk-angguk. Sementara Paksi pun bertanya, “Kenapa mereka harus berhenti disini dan justru memilih hari yang sama berbareng dengan hari pasaran?” Perempuan itu tidak segera menjawab. Tiga orang duduk pula di tikar yang dibentangkan di sebelah dagangannya digelar. “Kalian akan pergi kemana lagi?” bertanya penjual nasi itu kepada ketiga orang yang duduk di tikar itu pula. Nampaknya ketiga orang itu sudah sering datang dan makan nasi megana. “Kami mengantar pesanan Ki Demang Ponggok” jawab seorang di antara mereka. “Apa yang dipesannya?” bertanya penjual nasi itu. “Bukan barang berharga, Yu. Bahkan bagi orang lain tidak ada harganya sama sekali” “Apa?” “Kain dan baju yang sudah terhitung tua” “Untuk apa?” “Ki Demang sangat mencintai ibunya. Kain dan baju itu adalah milik ibunya yang baru saja meninggal. Ki Demang tidak minta warisan apapun, kecuali dua lembar kain panjang dan baju yang sudah tua yang sering dipakai oleh ibunya semasa hidupnya. Sementara itu ia merelakan rumah, halaman dan sawah peninggalan orang tuanya dibagikan kepada adik-adiknya. Menurut Ki Demang, ia sudah mendapatkan warisan memangkunya” “O” perempuan itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya sambil menunjuk Paksi dan Wijang, “Kedua anak muda ini heran, kenapa banyak orang yang berkumpul di pasar ini, sementara masa pasaran pagi tadi sudah lewat” Ketiga orang itu memandang Wijang dan Paksi sejenak. Seorang di antara mereka pun bertanya, “Kalian dari mana, anak-anak muda?” “Kami adalah pengembara yang tidak mempunyai papan dan tidak mempunyai tujuan tertentu” “Asalnya. Kalian berasal dari mana?” “Kami kakak beradik yang berasal dari Gunung Lawu. Tetapi sepeninggal orang tua kami, maka kami pergi mengembara. Beberapa lama kami tinggal di Pajang, mengabdi kepada seorang tumenggung. Tetapi gejolak yang terjadi di Pajang memaksa kami meninggalkan Ki Tumenggung yang ternyata telah ditangkap” “O” orang itu mengerutkan dahinya. Tanpa diduga oleh Wijang, orang itu pun bertanya, “Tumenggung siapa? Aku mengenal nama beberapa tumenggung” Wijang menarik nafas dalam-dalam. Meskipun agak ragu, namun ia pun berdesis, “Ki Tumenggung Sarpa Biwada” Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Tumenggung Sarpa Biwada memang sudah ditangkap” “Jadi Ki Sanak juga tahu bahwa Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu ditangkap?” “Ya. Aku mendengarnya. Waktu itu aku berada di dalam kota mencari dagangan” “Dagangan apa?” bertanya Paksi. “Wesi aji. Aku adalah pedagang wesi aji. Tetapi kali ini kami bertiga tidak membawa wesi aji itu. Yang kami bawa justru kain dan baju yang sudah lusuh” “Hanya kain dan baju yang sudah lusuh harus dibawa oleh tiga orang?” bertanya penjual nasi itu. Seorang di antara ketiga orang itu, yang rambutnya sudah keputih-putihan, berkata, “Kain dan baju lusuh itu nilainya lebih tinggi dari pusaka yang mana pun juga bagi Ki Demang di Ponggok” Tetapi perempuan penjual nasi itu mencibirkan bibinya. Katanya, “Aku tidak percaya. Nampaknya kau mencurigai aku, bahwa aku akan mengatakan kepada para penyamun itu bahwa kau membawa barang berharga” “Ah, kau ini aneh-aneh saja, Yu. Aku tidak pernah mencurigaimu. Kenapa aku harus curiga kepadamu? Kau di sini mencari nafkah. Aku setiap kali lewat di sini juga mencari nafkah. Jadi buat apa kita menjadi saling curiga?” Perempuan itu terdiam. Namun tangannya masih sibuk membuat pincuk, menyenduk nasi dan kemudian membubuhkan sayur-sayuran yang direbus bersama bumbu megana yang pedas. “Jadi apa yang dilakukan oleh orang-orang yang berkumpul di sini sekarang kecuali makan-makan di kedai, duduk-duduk sambil berbincang atau duduk makan lesehan seperti ini?” bertanya Wijang. Salah seorang laki-laki itu berkata, “Jadi kau benar-benar belum tahu, kenapa kami sekarang berkumpul disini?” Wijang mengangguk. “Anak-anak muda, kita semuanya akan ke Nglungge. Mungkin dari Nglungge kita akan menempuh jalan yang berbeda. Tetapi kami akan bersama-sama menyeberang sungai yang memisahkan Padukuhan Manjung ini dan Padukuhan Nglungge” “Di atas sungai itu terbentang sebuah sasak bambu, karena di atas sungai itu tidak ada jembatan, maka kami harus berjalan melalui sasak itu jika kaki kami dan barangkali pakaian kami tidak ingin basah” “Jadi setiap orang yang menyeberang akan melalui sasak itu?” “Ya. Kita akan dipungut uang untuk biaya memelihara sasak itu” Wijang mengangguk-angguk. Namun Paksi pun kemudian bertanya, “Tetapi kenapa mereka yang akan menyeberang itu harus berkumpul lebih dahulu disini, baru kemudian menyeberang bersama-sama?” Laki-laki itu memandang Paksi dan Wijang berganti-ganti. Baru kemudian ia pun berkata, “Anak-anak muda, dalam keadaan yang biasa, memang tidak ada persoalan yang perlu dirisaukan. Tetapi kadang-kadang terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Di kedua mulut sasak itu, kadang-kadang tidak hanya berdiri para petugas yang akan mengumpulkan uang bagi mereka yang menyeberang. Tetapi ada sekelompok orang yang berwajah garang dan berhati curang. Mereka tidak sekedar memungut uang untuk memelihara sasak itu. Tetapi mereka memaksa agar orang-orang yang menyeberang itu memberikan apa saja yang mereka bawa. Bahkan kuda-kuda mereka. Sehingga karena itu, maka kami bersepakat untuk berkumpul di sini dan bersama-sama menyeberang. Jika terjadi sesuatu, maka kami akan dapat melawan bersama-sama. Selain itu kami telah mengupah beberapa orang untuk menjaga keamanan kami di kedua mulut sasak itu” “Penyamun?” bertanya Paksi dengan serta-merta. “Ya. Penyamun” Paksi dan Wijang mengangguk-angguk. Dengan nada datar Paksi pun berkata, “Sekarang aku menjadi jelas” “Ya” sahut Wijang, “untunglah bahwa kita tidak mempunyai apa-apa yang dapat diminta oleh para penyamun itu” “Kadang-kadang orang yang tidak membawa apa-apa dapat menyeberang lewat sasak itu dengan selamat. Tetapi kadang-kadang mereka yang tidak membawa apa-apa itu akan menjadi bahan permainan para perampokan itu” “Maksud Ki Sanak?” bertanya Wijang. “Orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa itu sama sekali tidak berarti bagi para perampok. Karena itu, orang-orang yang tidak membawa apa-apa itu dapat diperlakukan apa saja. Pernah seorang gadis yang tidak membawa perhiasan ditangkap. Kakinya diikat dan kepalanya dibenamkannya ke dalam air. Tentu saja gadis itu meronta-ronta. Tetapi di mata mereka, hal itu menjadi tontonan yang lucu. Baru ketika gadis itu hampir mati, ia dilepaskan. Dibiarkannya keluarganya membawanya pergi. Tetapi lebih malang lagi nasib seorang anak muda. Ia justru dibunuh dengan cara yang buruk sekali” “Tetapi kenapa Ki Sanak masih juga akan menyeberang dengan hanya membawa barang-barang yang tidak berguna sama sekali bagi para perampok itu. Apakah dengan demikian, kalian tidak akan mengalami kesulitan” Ketiga orang itu menjadi gagap. Tetapi seorang di antara mereka pun menyahut, “Kita akan menyeberang beramai-ramai. Para penyamun itu tentu akan berpikir ulang sebelum ia benar-benar merampok. Selain itu, bahkan mungkin sama sekali tidak ada perampokan. Karena itu, kami mempunyai kemungkinan untuk keluar dengan selamat lebih besar daripada kemungkinan untuk mengalami bencana di perjalanan” Perempuan penjual nasi megana itu tertawa. Katanya, “Ceriteramu berputar-putar. Kau tentu membawa wesi aji yang sangat berharga, atau perhiasan yang nilainya tidak terhingga, sehingga kalian bertiga harus bersama-sama mengawalnya” “Ah, kau itu, Yu. Sudah aku katakan, aku tidak membawa apa-apa selain kain dan baju yang lusuh” “Mungkin kau memang tidak membawa apa-apa. Tetapi kawanmu itu?” “Kawanku juga tidak. Yang seorang lagi juga tidak. Aku sumpah, Yu” Penjual megana itu tertawa semakin keras. Katanya, “Kenapa kau sumpah kepadaku? Membawa atau tidak membawa, bukankah sama saja bagiku asal kau bayar harga nasi megana yang kau makan itu” Ketiga orang itu pun tertawa pula. Bahkan Paksi dan Wijang pun ikut tertawa. Sejenak kemudian, setelah selesai makan dan membayar harganya, ketiga orang itu pun minta diri. Namun Paksi dan Wijang masih saja duduk di sebelah penjual nasi megana itu. “Nampaknya Bibi mengenal mereka dengan baik” berkata Wijang. “Mereka sudah sering lewat jalur ini. Tetapi aku juga tahu, bahwa mereka adalah orang-orang yang sering menerima upah untuk menyampaikan barang-barang berharga lewat jalur yang berbahaya” “Menurut pengakuan mereka, kali ini mereka mengantar kain dan baju yang lusuh itu” Penjual nasi itu tertawa. Katanya, “Mereka selalu berkata tidak sebenarnya. Mereka selalu merahasiakan apa yang mereka bawa” “Tetapi apakah benar di mulut sasak di sungai itu sering terdapat sekelompok penyamun?” “Ya. Itu benar, anak-anak muda. Penyamun yang berharga” “Sering atau pernah terjadi sekali saja?” “Seringkali, anak muda. Jalur ini adalah jalur yang ramai. Namun setelah para pedagang serta mereka yang sering mengantar barang-barang berharga itu berkumpul dahulu sebelum menyeberang, maka perjalanan mereka menjadi lebih aman. Perampokan menjadi semakin jarang. Apalagi setelah mereka menemukan saat-saat menyeberang dari dua arah. Besok, saat matahari sepenggalah, maka orang-orang yang akan menyeberang itu sudah harus berada di mulut sasak itu. Baik yang menyeberang dari arah ini maupun dari arah yang berlawanan. Mereka pun kemudian menyeberang bergantian. Dengan demikian, jika terjadi perampokan, maka para perampok itu akan menghadapi jumlah orang yang lebih besar lagi, karena mereka yang menyeberang dari kedua sisi itu sepakat untuk bekerja bersama menghadapi perampokan di sisi yang manapun” “Satu cara yang baik sekali untuk melindungi diri sendiri” desis Wijang. Sementara itu, Paksi pun bertanya, “Jadi baru esok pagi menjelang matahari sepenggalah mereka baru menyeberang?” “Ya” jawab penjual nasi megana itu. Dalam pada itu, langit pun menjadi semakin muram. Cahaya layung yang tajam nampak meliputi wajah langit. Perlahan-lahan malampun turun menyelubungi Padukuhan Manjung. Satu dua orang telah duduk pula di tikar yang terbentang di sebelah penjual nasi megana itu. Sambil menghirup minuman, mereka pun makan nasi megana dalam pincuk daun pisang. Mereka yang tidak cukup membawa bekal, atau mereka yang sengaja ingin menghemat, memang lebih baik duduk makan nasi megana atau nasi tumpang lesehan daripada masuk ke dalam sebuah kedai yang harga minuman dan makanannya tentu lebih mahal. Pangeran Benawa pun kemudian membayar harga nasi megana yang dimakannya bersama Paksi, serta harga minuman bagi mereka. Namun Pangeran Benawa yang dipanggil Wijang itu berkata, “Apakah kami boleh duduk disini, Bibi?” “Silahkan. Bukankah tikarku cukup luas?” “Terima kasih, Bibi” Beberapa saat Wijang dan Paksi masih duduk di atas tikar di sebelah penjual nasi megana itu. Sementara itu masih saja ada orang yang datang untuk membeli nasi megana. Untuk menerangi dagangannya, penjual nasi megana itu telah menyalakan lampu dlupak yang agak besar yang diisi dengan minyak kelapa. Sementara itu, di regol pasar telah dinyalakan oncor pula. “Di mana mereka nanti malam tidur, Bibi?” bertanya Paksi. “Rumah yang panjang di sebelah pasar itu adalah sebuah penginapan. Bukan saja orang-orang yang ingin menyeberang. Tetapi juga para pedagang yang tadi siang membawa barang dagangan dengan pedati, biasanya bermalam di rumah panjang itu” Paksi mengangguk-angguk. Ia melihat rumah panjang yang dimaksud oleh penjual nasi megana itu. Ia pun melihat beberapa buah pedati yang berada di depan rumah yang panjang itu. “Jika kau akan menginap pula di sana, kau harus membayar, Ngger” berkata penjual nasi itu. “Membayar?” “Ya. Di dalam rumah yang panjang itu ada amben yang besar memanjang. Di tempat itu orang-orang yang menginap itu tidur. Di belakang rumah yang panjang itu terdapat beberapa buah pakiwan bagi mereka yang menginap jika mereka akan mandi” Paksi mengangguk-angguk. “Kau akan menginap di sana?” “Kami dapat tidur di mana saja, Bibi” jawab Paksi. “Tidur di mana saja? Maksudmu? Apakah kau akan pergi ke banjar dan mohon ijin untuk tidur di sana tanpa membayar? Sia-sia. Sudah agak lama penunggu banjar itu sudah mendapat perintah agar banjar itu tidak dipergunakan untuk menumpang tidur di malam hari atau menumpang istirahat di siang hari” Wijang dan Paksi saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Paksi pun berkata, “Kami dapat tidur sambil duduk bersandar dinding itu, Bibi. Kami dapat juga tidur berselimut udara dingin. Sudah terbiasa bagi kami tidur di mana saja” “Ngger, jika kalian mau, daripada kalian tidur di mana-mana, sementara kau harus membayar jika tidur di rumah yang panjang itu, kau dapat tidur di rumahku. Tanpa membayar. Meskipun rumahku tidak sebagus rumah yang berjajar di pinggir jalan itu, tetapi aku dapat memberi tempat kepada kalian berdua. Asal kalian mau tidur di tempat yang sederhana” “Terima kasih, Bibi. Terima kasih” sahut Paksi dengan serta-merta. “Tetapi biarlah kami di sini saja” Perempuan itu tersenyum. Katanya, “Terserahlah kepada kalian. Tetapi di malam hari, dinginnya menggigit tulang. Lebih-lebih lagi menjelang dini” “Ya, Bibi. Bahkan sekarang pun rasa-rasanya sudah sangat dingin” “Karena itu, jangan tidur di luar. Kalian akan dapat kedinginan” Paksi tidak menjawab. Sementara itu Wijang pun berkata, “Bibi, kami mengucapkan terima kasih atas kebaikan Bibi. Kami sekarang mohon diri. Kami ingin melihat-lihat tempat yang ramai di sepanjang hari ini” “Hanya di hari pasaran, Ngger. Orang-orang itu menyeberang bersama-sama setiap sepekan sekali. Agar mereka mudah mengingat-ingat, maka waktunya dibuat bersamaan dengan hari pasaran” Wijang dan Paksi pun kemudian meninggalkan penjual nasi megana itu. Mereka melihat-lihat lingkungan pasar yang menjadi semakin sepi. Tetapi kedai-kedai di pinggir jalan itu masih membuka pintunya. Masih ada satu dua orang yang datang untuk makan malam di kedai-kedai itu. Orang yang mempunyai bekal yang cukup, sehingga mereka tidak mau makan lesehan di pinggir pasar. Atau mungkin di antara mereka terdapat orang-orang yang berkedudukan. Di sebelah pasar itu terdapat sebuah halaman yang luas berdinding rendah. Di halaman yang luas itu terdapat dua buah rumah yang membujur panjang. Agaknya rumah itu belum terlalu lama dibangun. Bahkan yang satu agaknya lebih baru dari yang lain. “Mereka menginap di sini” berkata Wijang. “Ya” Paksi mengangguk-angguk. “Aku ingin melihat keadaan di dalamnya” “Apakah kita akan menginap di sini?” “Ya. Kita tidak berkeberatan jika kita harus membayar” Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk sambil berdesis, “Ya. Kita akan membayar” Wijang pun berpaling kepadanya sambil mengerutkan dahinya. Sementara Paksi berkata, “Bukankah kau membawa uang?” Wijang termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian tertawa pendek sambil menjawab, “Kau juga membawa uang” Sejenak kemudian, keduanya telah menemui orang yang mengurusi penginapan itu untuk minta ijin bermalam. “Kau tahu bahwa menginap di sini harus membayar?” bertanya orang yang mengurusi penginapan itu. Seorang yang bertubuh tinggi tegap dan berkumis lebat. “Mengerti, Paman” “Nah, kalian harus membayar lebih dahulu. Ada dua pilihan. Yang tidur di amben lajur panjang atau di amben yang terpisah-pisah masing-masing untuk seorang” “Tentu memilih di amben yang terpisah-pisah” “Membayarnya lipat dua” Wijang memandang Paksi sekilas. Namun kemudian ia pun berkata, “Kami akan tidur di amben lajuran itu saja, Paman” “Baiklah. Kau dapat memilih apakah kau akan tidur di amben lajur yang berada di sebelah barat atau di sebelah timur” Setelah membayar buat dua orang, maka keduanya pun masuk ke dalam barak yang memanjang itu. Keduanya berdiri termangu-mangu sejenak. Ada empat amben panjang yang membujur di dalam ruang itu. Kemudian beberapa amben yang terpisah-pisah buat seorang. Namun agaknya amben yang terpisah itu tinggal beberapa saja yang masih kosong. Namun agaknya tidak lama lagi, amben-amben yang terpisah-pisah itu akan terisi penuh. Keduanya pun kemudian pergi ke amben panjang yang membujur di sebelah pintu. Beberapa orang sudah lebih dahulu duduk-duduk di amben itu. Beberapa macam barang bawaan terletak di amben itu pula. Beberapa bungkusan keba-keba yang terbuat dari daun pandan. Beberapa buah keba kulit dan bahkan peti-peti kayu yang tidak begitu besar. Memang tidak semua yang menginap di rumah yang panjang itu akan menyeberangi sungai pergi ke Nglungge. Di antara mereka terdapat beberapa orang pedagang yang di hari pasaran itu menggelar dagangannya di pasar Manjung. Di ujung amben itu, beberapa orang telah berbaring sambil berbincang. Agaknya mereka adalah pedagang-pedagang yang lelah setelah di pagi hari menunggu dagangan mereka, kemudian membenahinya dan memuat di dalam pedati. Di sisi yang lain, di amben-amben yang terpisah itu pun beberapa orang telah berbaring pula. Agaknya mereka adalah pedagang-pedagang yang lebih kaya. Atau orang-orang yang berkedudukan, yang makan di kedai-kedai di pinggir jalan. Wijang yang duduk sambil memeluk lutut di sebelah paksi itu pun berdesis, “Nampaknya keadaan ini menguntungkan bagi Padukuhan Manjung dan barangkali juga orang-orang Nglungge” Paksi mengangguk-angguk sambil menyahut, “Ya. Ada pemasukan khusus setiap sepekan sekali. Orang yang memiliki tanah ini ternyata penalarannya cukup trampil sehingga mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan di lingkungannya. Rumah ini tentu menghasilkan lebih banyak daripada jika tanah ini ditanami palawija atau pohon buah-buahan” “Tetapi untuk membangun rumah ini diperlukan modal yang besar” Wijang mengangguk-angguk. Namun sambil mengamati tulang-tulang bangunan itu, ia berdesis, “Semuanya kayu glugu. Yang agaknya ditebang dari halaman ini sendiri” Paksi pun mengangguk-angguk pula. Beberapa saat kemudian, beberapa orang telah memasuki rumah yang panjang itu pula. Dari pembicaraan orang-orang yang ada di sekitarnya, Wijang dan Paksi mengetahui, bahwa rumah panjang yang satu lagi yang lebih kecil, dipergunakan oleh orang-orang perempuan. Ketika malam menjadi semakin dalam, maka orang-orang yang ada di rumah panjang itu mulai membaringkan dirinya. Berjajar di amben yang panjang pula. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang sudah saling mengenal. Seorang laki-laki yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan yang kemudian berbaring di sebelah Paksi yang masih duduk bersama Wijang, bertanya, “Anak muda, aku belum pernah melihat kalian sebelumnya. Siapakah kalian berdua dan kalian akan pergi ke mana sehingga kalian harus bermalam di tempat ini?” Wijang dan Paksi saling berpandangan sejenak. Dengan nada datar Wijang pun menjawab, “Kami tidak mempunyai tujuan tertentu. Kami adalah pengembara yang menjelajahi tanah ini menurut langkah kaki saja” Orang itu tertawa. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Tetapi kalian mempunyai banyak uang sehingga kalian dapat bermalam di tempat ini” “Kami tidak mempunyai banyak uang. Tetapi kami tidak mempunyai pilihan lain. Adikku ini tubuhnya terlalu lemah, sehingga jika kami bermalam di udara terbuka, maka ia akan dapat menjadi sakit” “O” orang itu mengerutkan dahinya. “Jika adikmu sakit-sakitan, kenapa kau ajak ia mengembara?” “Kami sedang mencari satu lingkungan yang lebih baik. Di dalam pengembaraan kami, mungkin kami dapat menemukannya” “Kalian tadi yang membeli nasi megana di sebelah regol pasar itu?” “Ya. Kami tadi membeli nasi megana di sebelah regol pasar” Orang itu terdiam. Bahkan ia mulai memejamkan matanya. Sementara itu malampun menjadi semakin malam. Paksi dan Wijang telah berbaring pula. Orang-orang yang berada di dalam rumah yang panjang itu sebagian besar juga telah berbaring, meskipun masih ada yang berbincang perlahan-lahan dengan orang yang berbaring di sampingnya. Empat buah pintu dari rumah panjang tanpa sekat itu telah ditutup dan diselarak dari dalam, kecuali satu yang dijaga oleh seorang petugas. Dalam penglihatan Wijang dan Paksi, beberapa orang laki-laki yang bermalam di rumah panjang itu sebagian besar membawa senjata. Bahkan para pedagang yang menggelar dagangannya di pasar Manjung di hari pasaran itu juga bersenjata. Mereka harus mengamankan uang hasil jualannya. Tetapi mereka yang tidak akan menyeberang ke Nglungge, tidak merasa begitu gelisah. Jalan-jalan yang menuju ke tempat lain tidak segawat sasak penyeberangan yang menuju ke Nglungge. Sejenak kemudian, maka ruangan itu pun menjadi sepi. Yang terdengar kemudian adalah dengkur orang-orang yang sudah tertidur lelap. Seorang yang gelisah karena tidak dapat tidur, telah bangkit dan turun dari pembaringannya. Perlahan-lahan ia naik ke amben yang lain, yang masih tersisa tempat. Agaknya ia tidak tahan mendengar dengkur orang yang tidur di sampingnya. Paksi dan Wijang berbaring diam. Tetapi mereka masih belum tidur. Baru menjelang tengah malam, Wijang mulai lelap. Tetapi Paksi masih belum tidur. Ia mulai memikirkan adiknya yang berada di sebuah padepokan yang tidak diketahuinya yang dipimpin oleh Ki Gede Lenglengan. Padepokan yang berisi orang-orang yang tentu merupakan pendukung kuat dari Harya Wisaka. Bahkan meskipun Harya Wisaka sudah tertangkap, namun keyakinan mereka tentang perjuangan Harya Wisaka masih melekat di hati mereka. Ketika udara malam menjadi semakin dingin, maka Paksi menarik kain panjangnya untuk menyelimuti tubuhnya. Matanya pun mulai terpejam. Kesadarannya perlahan-lahan mulai menjadi kabur Tetapi tiba-tiba mata Paksi justru telah terbuka lagi. Ia bahkan terkejut, karena ia mendengar suara burung kedasih yang ngelangut. Tetapi suara burung kedasih itu agak aneh di telinga Paksi. Terdengar agak tergesa-gesa dan gelisah. Paksi pun kemudian menggamit Wijang. Namun sebelum Paksi berkata sesuatu, Wijang itu pun berdesis perlahan, “Suara burung kedasih itu?” “Aku kira kau tertidur” desis Paksi. “Aku memang tertidur. Tetapi suara burung kedasih itu cukup keras untuk membangunkan aku” Paksi terdiam. Didengarkannya suara burung kedasih itu dengan seksama. “Hati-hati, Paksi. Di mana tongkatmu?” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tongkatnya diletakannya di sampingnya. “Apa yang harus kita lakukan?” bertanya Paksi. “Menunggu. Kita tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menunggu. Namun agaknya perkembangan keadaan yang akan terjadi, bukan yang kita harapkan” “Agaknya orang-orang yang terbiasa menunggu di sasak penyeberangan itu menjadi tidak sabar lagi, sehingga mereka akan datang kemari” “Selain itu, lawan mereka pun tidak sebanyak jika mereka menunggu di penyeberangan itu. Di sini tidak ada orang-orang yang datang dari arah Nglungge. Bukankah mereka sepakat untuk melawan bersama-sama, baik yang datang dari Manjung maupun yang datang dari Nglungge” “Ya. Mereka mempunyai beberapa keuntungan jika mereka datang kemari. Selain orang-orang yang menyeberang, di sini ada beberapa orang pedagang yang tadi pagi menjual dagangannya di pasar ini” “Ya. Jumlah mereka tentu tidak sebanyak orang-orang yang akan menyeberang dari Nglungge. Namun uang yang ada pada mereka tentu cukup banyak. Hasil penjualan dagangan mereka pagi tadi” Keduanya pun kemudian berdiam diri. Nampaknya orang yang bertugas jaga di satu-satunya pintu yang tidak diselarak itu tertidur. Wijang itulah yang kemudian bangkit dan turun dari pembaringannya. Kemudian perlahan-lahan ia berjalan ke pintu. Dari celah-celah pintu dilihatnya orang yang menjaga pintu itu duduk di sebelah pintu. Namun agaknya orang itu pun tertidur. Wijang menjadi ragu-ragu. Jika ia keluar dari rumah itu dan mencoba membangunkan orang itu, maka orang itu akan dapat mencurigainya kelak. Ia dapat dianggap keluar dari rumah panjang itu untuk memberi isyarat kepada sekelompok orang yang mungkin akan berniat jahat. Karena itu, Wijang tidak keluar dari dalam rumah itu. Tetapi Wijang telah mendorong pintu yang sedikit terbuka itu, sehingga daun pintu lereg itu menyentuh orang yang bertugas sehingga terbangun. Ketika orang itu menggeliat dan menguap, maka Wijang pun segera kembali ke pembaringannya. Orang yang bertugas itu pun bangkit berdiri. Sambil mengusap matanya ia melangkah hilir mudik untuk menghilangkan kantuknya. Sekali ia menguap. Namun kemudian, ia pun duduk kembali di sebelah pintu. Tetapi tiba-tiba saja ia terkejut. Petugas itu pun mendengar suara burung kedasih yang terdengar asing. Karena itu, maka ia pun segera bangkit berdiri. “Suara itu terdengar semakin keras” berkata Paksi. Wijang menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia justru telah berbaring kembali. Apalagi setelah ia mendengar langkah petugas di luar pintu itu tergesa-gesa pergi. “Kemana orang itu?” bertanya Paksi. “Orang itu tentu akan melaporkan kepada kawan-kawannya. Mungkin kepada pemilik rumah ini” “Orang yang menyuarakan isyarat itu bukan seorang penghubung yang baik. Ia tidak dapat menirukan suara burung kedasih dengan baik. Sebenarnya banyak cara untuk menyampaikan isyarat. Tetapi nampaknya suara burung kedasih sering dipergunakan” “Ya. Suara burung kedasih, burung kulik atau tuhu. Burung-burung yang berkeliaran di waktu malam. Sekali-sekali ada yang mempergunakan suara burung hantu atau suara anjing liar” “Itu tentu akan lebih baik” Keduanya pun terdiam. Suara burung kedasih itu terdengar semakin jelas. Tetapi justru karena itu, menjadi semakin jelas pula bahwa suara itu bukan suara seekor burung. Beberapa saat kemudian, tiga orang telah memasuki rumah panjang itu. Seorang membawa pedang telanjang, seorang membawa tombak pendek dan seorang membawa bindi. Ketiga orang itu pun telah membangunkan orang-orang yang bermalam di rumah panjang itu. “Ada apa?” bertanya seorang yang bertubuh gemuk. “Bangunlah. Siapkan senjata kalian” “Ada apa?” Ketiga orang itu telah mendekati seorang di antara mereka yang tidur di amben yang terpisah itu. Dengan nada berat seorang di antara mereka berkata, “Hati-hatilah, Ki Sudagar. Aku mendengar suara burung yang aneh” “Kenapa dengan suara burung? Apakah kau percaya bahwa suara burung di malam hari mempunyai pengaruh buruk bagi seseorang?” “Suara burung kedasih itu, Ki Sudagar” “Bagaimana dengan burung kedasih? Bukankah suara burung kedasih selalu seperti itu? Aku akan tidur. Jangan ganggu aku lagi. Persetan dengan suara burung kedasih itu” Seorang yang mengawal Ki Sudagar mendesak maju dengan menyibak ketiga orang yang membangunkan mereka itu. Katanya, “Ki Sudagar, dengar suara burung itu baik-baik” “Ya. Kenapa dengan suara burung itu? Apakah kau juga menjadi ketakutan seperti para petugas ini?” “Ki Sudagar belum mendengarkan suara burung itu dengan seksama” “Kenapa?” “Dengarlah” Ketika Ki Sudagar mulai mendengarkan suara burung itu, maka suara itu pun terdiam. Tetapi Ki Sudagar masih mendengar suara itu dua tiga kali. Tiba-tiba wajahnya menjadi tegang. Katanya, “Apakah itu isyarat bahwa ada sekelompok penjahat yang akan datang kemari?” “Kami belum tahu pasti, Ki Sudagar. Tetapi aku minta Ki Sudagar berhati-hati. Jika orang-orang datang kemari malam ini, tentu ada sebabnya. Selama ini mereka belum pernah datang langsung kemari” “Persetan. Tentu ada pengkhianatnya di antara kita” “Belum tentu, Ki Sudagar. Mungkin mereka sudah mengetahui bahwa malam ini Ki Sudagar ada di sini. Mereka tentu mengira, bahwa Ki Sudagar tentu membawa barang-barang berharga. Mungkin barang yang diperjual-belikan. Mungkin barang-barang berharga milik dan dikenakan oleh Ki Sudagar sendiri” “Tidak seorang pun tahu bahwa aku akan menyeberang esok” “Jangan berkata begitu. Banyak orang yang dapat mengenali ujud Ki Sudagar. Mungkin mereka tidak sengaja berkhianat. Tetapi pembicaraan dari mulut ke mulut yang menyebut bahwa Ki Sudagar ada di sini ternyata sampai ke telinga para penyamun itu” “Lalu mereka datang kemari malam ini?” “Kira-kira begitu, Ki Sudagar” “Anak iblis. Tetapi bukankah kita dapat melawan?” “Tentu. Kita sudah berjanji akan melawan bersama-sama” Wajah Ki Sudagar menjadi sangat tegang. Dipandanginya orang-orang yang bertugas di penginapan itu. Katanya, “Bagaimana pendapat kalian?” “Kita memang akan melawan bersama-sama. Mungkin Ki Sudagar merupakan umpan terbesar sehingga memancing mereka untuk datang kemari. Mereka tidak sabar menunggu esok di sasak penyeberangan. Tetapi jika orang-orang jahat itu datang kemari, berarti semua orang yang ada di sini akan kehilangan” Dua orang pengawal Ki Sudagar yang lain pun telah mendekat pula. Seorang di antara mereka bersenjata golok yang besar. Dengan suara parau orang itu berkata, “Kita tidak sendiri di sini Ki Sudagar. Jumlah kita cukup banyak” Orang-orang yang sudah terbangun itu pun segera berbenah diri. Tidak seorang pun yang akan merelakan harta mereka dirampas orang. Apalagi mereka berkumpul dalam jumlah yang cukup banyak. Ki Sudagar yang kaya itu telah dikerumuni oleh tiga orang pengawalnya. Orang yang membeli nasi megana bersama-sama dengan Wijang dan Paksi pun nampaknya menjadi gelisah pula. Agaknya mereka memang membawa sesuatu yang berharga. Bukan hanya dua lembar kain dan baju yang sudah lusuh. Suasana di dalam barak itu menjadi tegang. Tiba-tiba saja pemilik rumah itu masuk pula bersama seorang yang bertubuh raksasa. Sejenak ia termangu-mangu di depan pintu. Baru kemudian ia berkata, “Ternyata kalian sudah bersiaga. Aku curiga mendengar suara burung itu. Menurut pendapatku, suara itu bukan suara burung yang sebenarnya” “Ya” sahut salah seorang pengawal Ki Sudagar, “bahkan pasti. Suara itu bukan suara burung kedasih” “Aku sudah memerintahkan dua orangku untuk mengawasi jalan menuju ke sasak penyeberangan itu. Jika mereka melihat sesuatu yang mencurigakan, aku perintahkan salah seorang dari mereka melepaskan anak panah sendaren” “Bagus. Isyarat panah sendaren itu akan sangat berarti” “Sebaiknya kita bersiap. Kita akan memencar di luar rumah ini, agar kita mempunyai banyak kesempatan untuk mengayunkan senjata kita. Menurut pendapatku, setiap orang yang akan menyeberang sungai itu tentu sudah memperhitungkan bahwa kemungkinan seperti ini dapat saja terjadi. Bahkan setiap saat seperti yang kita alami sekarang” “Apakah semua di antara kita akan pergi keluar? Siapakah yang akan menunggui harta milik kita dan bawaan kita meskipun hanya selembar kain usang?” Tiba-tiba saja mata pemilik rumah itu tertuju pada Paksi dan Wijang yang berdiri termangu-mangu. “Aku belum pernah melihat kedua orang itu” berkata pemilik rumah itu. “Hampir semuanya yang menginap di sini aku kenal. Tetapi kedua orang ini rasa-rasanya asing bagiku” Semua orang memandang Wijang dan Paksi. Sementara itu, pemilik rumah itu pun melangkah mendekatinya diikuti oleh orang yang bertubuh raksasa. Sambil memandangi Wijang dan Paksi berganti-ganti pemilik rumah itu pun bertanya, “Siapa kalian, he?” “Kami adalah pengembara yang tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak mempunyai tujuan. Kami terdampar ke tempat yang tidak kami mengerti ini” “Apakah kau sengaja disusupkan oleh para penyamun itu kemari?” “Kami tidak tahu apakah yang sebenarnya terjadi disini. Kami pun tidak tahu, bahwa disini berkumpul banyak orang yang akan pergi ke sungai. Aku baru mendengar dari penjual nasi megana di dekat pintu pasar” “Jangan membual. Kau tentu dua orang dari antara para penyamun itu. Kalian menyusup di antara mereka yang ingin menyeberang ke Nglungge untuk mengetahui, apakah di antara mereka yang akan pergi ke Nglungge itu ada yang membawa uang atau perhiasan atau harta benda yang lain yang bernilai tinggi” “Kami adalah pengembara yang tidak tahu apa-apa tentang tempat ini dan bahkan kami merasa sangat asing dengan keadaan ini” “Kau tentu sudah mempersiapkan jawaban sebelumnya, sehingga kau akan dapat mengelak dari tuduhan” “Kami benar-benar tidak tahu apa-apa. Kami sekedar akan lewat” Suasana di dalam rumah panjang itu menjadi tegang. Sementara itu beberapa orang sudah mendesak maju. Kemarahan mulai membakar jantung mereka terhadap Wijang dan Paksi. Wijang dan Paksi memang menjadi bimbang. Jika orang-orang itu menyerang, apakah mereka tidak berhak untuk membela diri? Namun dalam pada itu, selagi belum terjadi sesuatu, terdengar anak panah sendaren bergaung di udara. “Mereka benar-benar datang” geram pemilik rumah itu. “Kita harus bersiap menyambut mereka” “Kita harus memencar” berkata orang yang bertubuh raksasa, pengawal pemilik rumah penginapan itu. Perhatian mereka terhadap Wijang dan Paksi pun pecah. Orang-orang yang berada di dalam rumah itu menjadi gelisah. Orang yang bertubuh raksasa itu pun berkata kepada pemilik rumah itu, “Kita tidak boleh terjebak di dalam ruangan ini” “Baik” sahut pemilik rumah itu. Lalu katanya kepada orang-orang yang berada di dalam rumah panjang itu, “Kita akan keluar dari rumah ini. Kita akan memencar. Tetapi jangan keluar dari halaman rumah ini” “Dinding rumah ini terlalu rendah untuk bertahan” berkata seseorang. “Berjongkoklah. Demikian seseorang meloncat masuk, kalian harus segera menyerang. Jika kita semuanya tidak berbuat apa-apa, maka kita semuanya akan mereka kuasai. Semua harta benda dan uang yang ada pada kalian, akan mereka rampas” Orang-orang yang ada di dalam rumah panjang itu mulai bergerak. Sementara itu, pemilik rumah itu pun berkata kepada orang-orangnya, “Jaga rumah sebelah. Lindungi perempuan dan anak-anak” Beberapa orang yang dipersiapkan untuk mengantar orang-orang yang menyeberang itu sampai ke sasak dan menyerahkan kepada para pengawal dari Nglungge sekaligus menerima orang-orang yang menyeberang dari arah Nglungge, telah ada di tempat itu pula. “Kalian tidak usah menunggu esok” berkata pemilik rumah itu. “Lakukan tugas kalian sekarang. Upah kalian akan tetap dibayar utuh” Beberapa orang itu pun segera bersiap. Laki-laki yang ada di ruangan yang panjang itu pun segera menghambur keluar. Pemilik rumah dan petugas-petugas di penginapan itu sibuk mengatur mereka dan memberikan petunjuk-petunjuk. Mereka berlari-larian kesana-kemari dengan mengacu-acukan senjata mereka. Dua orang di antara mereka telah menutup pintu regol. Namun hampir tidak ada gunanya, karena dinding halaman penginapan itu tidak setinggi dinding halaman rumah kebanyakan. Wijang dan Paksi menarik nafas dalam-dalam, hampir saja mereka terjebak ke dalam pertentangan yang tidak berarti dan sia-sia. “Apa yang akan kita lakukan sekarang?” bertanya Paksi. “Kita juga pergi keluar. Kita akan melihat keadaan. Berhati-hatilah” Keduanya pun kemudian telah keluar dari ruangan yang panjang itu. Ketajaman mata mereka pun dapat segera melihat, dimana orang-orang yang menunggu datangnya para penyamun dan perampok itu menunggu.....
Jejakditemukan di ruang tamu dan kamar korban," ucap Kapolres Subang Ajun Komisaris Besar Polisi Sumarni yang dihubungi Kompas.com, Jumat (20/8/2021). Dugaan-dugaan di Balik Kasus Polisi Tembak Polisi. Jessica Iskandar Jadi Korban Penipuan, 11 Mobil Mewah Lenyap dan Kerugian Hampir Rp 10 Miliar.
Setelah selesai wedaran Nagasasra dan Sabuk Inten, saya coba wedar karya SH Mintardja yang lain. Mungkin sebagian besar sanak kadang sudah membacanya, karena sebenarnya rontal ini sudah diunggah di apidibukitmenoreh serta diunggah pula di beberapa blog lain. Wedaran di sini hanya sekedar untuk media komunikasi dengan sanak kadang yang biasa nongkrong di blog ini. Mohon maaf Ki Zacky, rontalnya saya pinjam, he he he … Sebagian hasil scanningnya agak kabur, jika ada waktu, rontal tersebut diedit atau bahkan scan ulang. Tetapi jika tidak ada waktu, maka rontal tersebut akan langsung diunggah apa adanya di sini. JEJAK DI BALIK KABUT Karya Mintardja Gambar Kulit Kentardjo Illustrasi Drs. Sudyono Jilid 40 Jilid Jumlah halaman 80 halaman Peberbit Badan Penerbit “Kedaulatan Rakyat” Cetakan Pertama Th 1991 Dengan sangat menyesal, mengingat kegiatan p satpam yang banyak maka wedaran rontal-rontal Jejak di Balik Kabut ini diatur tiga hari sekali, sebagaimana halnya dengan NSSI. JDBK-01 JDBK-02 JDBK-03 JDBK-04 JDBK-05 JDBK-06 JDBK-07 JDBK-08 JDBK-09 JDBK-10 JDBK-11 JDBK-12 JDBK-13 JDBK-14 JDBK-15 JDBK-16 JDBK-17 JDBK-18 JDBK-19 JDBK-20 JDBK-2 JDBK-22 JDBK-23 JDBK-24 JDBK-25 JDBK-26 JDBK-27 JDBK-28 JDBK-29 JDBK-30 JDBK-31 JDBK-32 JDBK-33 JDBK-34 JDBK-35 JDBK-36 JDBK-37 JDBK-38 JDBK-39 JDBK-40
Bagaskara 9 21. Angin membelai rambutku yang ikal mayang. Diiringi udara sejuk, bagai memeluk hati yang mencair. Mataku berbinar, wajah merona merah bersaing dengan warna matahari di pesisir pantai. Saat mendengar pernyataan cintanya, itulah yang kurasakan. Bagaskara nama yang indah, seindah lembayung senja.
Kondisi BekasMin. Pemesanan 1 BuahEtalase Semua Etalasejejak di balik kabutoleh Mintardjanomor yg tersedia4,5,6,7,13,15,16,16,17,18,19,19,20,20,21,21,22,22,23,24,24,25,26,27,28,29,31,32,34, di ketik no yg mau di tidak menyertakan nomor,maka akan di kirim original.
NOVEL- JEJAK DIBALIK KABUT VOL 1-10 di Tokopedia ∙ Promo Pengguna Baru ∙ Cicilan 0% ∙ Kurir Instan.
Namun penemuan baru jejak kaki ini diperkirakan kedatangan manusia pertama dimulai dari sekitar 25.000 hingga 37.000 tahun lalu. Saat ini, para arkeolog sedang melanjutkan survei untuk
JejakDi Balik Kabut oleh: Mintardja Terbitan: (1992) Jejak di Balik kabut oleh: Mintardja ; Jejak dibalik kabut oleh: MINTARDJA, S.H Terbitan: (1992) Opsi Pencarian. Sejarah Pencarian; Pencarian Lanjut; Temukan Lebih Banyak. Penelusuran Katalog; Penelusuran Alfabetis; Butuh Bantuan? Tips Pencarian
jBiA. iyoesx0w0m.pages.dev/96iyoesx0w0m.pages.dev/225iyoesx0w0m.pages.dev/256iyoesx0w0m.pages.dev/730iyoesx0w0m.pages.dev/84iyoesx0w0m.pages.dev/236iyoesx0w0m.pages.dev/293iyoesx0w0m.pages.dev/725
jejak di balik kabut 10